Konstruksi Media – Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal terkait jaminan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), nasib sejumlah perusahaan tambang batu bara diprediksi menggantung.
Dalam amar putusannya, MK mengganti kata ‘dijamin perpanjangan’ di pasal 169A ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba menjadi ‘dapat diperpanjang’.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan frasa perpanjangan KK dan PKP2B yang berlaku otomatis sebagai sesuatu yang positif.
- Memaknai Refleksi Pidato Presiden Prabowo Subianto
- Pemerintah Canangkan Gerakan Nasional Gotong Royong Bangun Rumah untuk Rakyat
- Luar Biasa!, Laba Bersih WEGE Melonjak 121,32% di Kuartal III 2024
Menurutnya, frasa ‘dijamin’ tersebut sebenarnya dapat menjadi dua mata pisau yang berbeda. Jika perusahaan pemegang KK dan PKP2B beroperasi dengan baik, maka kata ‘dijamin’ tersebut tidak akan menimbulkan masalah.
“Tetapi bagaimana jika sebaliknya? perusahaan tersebut ternyata mempunyai track record yang buruk. Maka frasa ‘dijamin’ tersebut, justru akan merugikan negara dan masyarakat,” ujarnya, dikutip pada Jumat (10/12/2021).
Rizal menyarankan perpanjangan KK dan PKP2B tetap perlu diatur dalam UU sebagai bentuk jaminan investasi di sektor pertambangan demi kepastian hukum.
Keputusan MK yang menghapus kata ‘dijamin’ tersebut, bukan berarti pemegang PKP2B tidak dapat mengajukan perpanjangan kontrak, yang nantinya akan dikonversi menjadi IUPK operasi produksi.
Ia menuturkan bahwa dalam putusan MK, perpanjangan PKP2B masih memungkinkan diberikan. Setidaknya dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai kelanjutan operasi masing-masing paling lama 10 tahun.
“Nah artinya, terkait apakah izin KK dan PKP2B dari sebuah perusahaan dapat diperpanjang atau tidak, yang menentukan adalah performa dan rekam jejak dari perusahaan tersebut, selama beroperasi,” katanya.
Adapun jika perusahaan tersebut mempunyai rekam jejak yang bagus, maka pemerintah tidak punya alasan untuk tidak memperpanjang izin KK dan PKP2B dari perusahaan tersebut. Namun sebaliknya, jika rekam jejaknya buruk, maka pemerintah sudah sepatutnya tidak memberikan izin perpanjangan.
Karena itu menurut Rizal, yang perlu ditekankan justru adalah proses evaluasi dan penilaian atas kinerja KK dan PKP2B yang akan diperpanjang kontraknya. Pemerintah harus membuat standar dan ukuran berdasarkan beberapa variabel.
Antara lain meliputi jumlah cadangan, umur tambang, kapasitas produksi, pelaksanaan good mining practice, pengelolaan lingkungan, reklamasi, pelaksanaan. Kemudian, program pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan ekonomi lokal, kontribusi keuangan negara dan daerah serta pemenuhan kewajiban-kewajiban lainnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai putusan MK tersebut tidak menghilangkan hak perusahaan pemegang PKP2B untuk mendapatkan perpanjangan kontrak dalam bentuk IUPK. Sehingga dia optimistis anggotanya akan mendapatkan perpanjangan kontrak tersebut.
“Mengingat perusahaan-perusahaan anggota kami melaksanakan kewajiban mereka sesuai ketentuan di kontrak,” kata Hendra.
Selain itu, kontribusi perusahaan baik terhadap perekonomian nasional regional serta kontribusi terhadap ketahanan energi juga cukup signifikan. Sehingga hal itu seharusnya menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintah.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kata ‘dijamin perpanjangan’ diganti menjadi ‘dapat diperpanjang’ bagi Pemegang KK dan PKP2B seharusnya bukan menjadi soal. Mengingat PKP2B yang akan habis masa kontraknya merupakan kumpulan perusahaan tambang raksasa.
Sehingga ia optimistis perusahaan tambang yang akan berakhir masa kontraknya akan mendapatkan izin perpanjangan. “Karena ini kan perusahaan yang padat karya terkait masalah karyawan belum lagi terkait reklamasinya. Ini masih banyak hal yang jadi pertimbangan saya kira ini adalah proses,” kata Mamit.
Di samping itu, Mamit menilai putusan MK ini sebenarnya juga dapat menjadi peluang bagi BUMN tambang pelat merah untuk terlibat dalam pengelolaan wilayah tambang bekas pemegang KK dan PKP2B. Hal tersebut tinggal tergantung BUMN memberikan penawaran terbaik.
PT Kaltim Prima Coal merupakan perusahaan paling mendesak status perizinannya sebab akan habis pada 31 Desember 2021. Selain itu, ada juga PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).***