Babak Baru Hilirisasi Industri Pertambangan
Setelah jadi nikel matte, nickel pig iron dan ferro nickel, seharusnya ini dilanjutkan oleh Kementerian Perindustrian, sampai menjadi industri manufaktur.
Konstruksi Media, Jakarta – Salah satu program hilirisasi industri pertambangan yang ramai dibicarakan belakangan ini, ialah nikel. Biasanya, dipakai untuk transisi energi, seperti pada produk baterai untuk kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).
Perlu diketahui bahwa produk nikel olahan sendiri dibagi ke dalam dua kelas, yaitu nikel kelas satu, berupa produk yang dibutuhkan untuk battery kenderaan listrik (EV). Itu dibutuhkan sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Produk Nikel kelas satu ini identik dengan produk nikel yang diolah melalui Teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) atau hydrometalurgi seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Adapun jenis bijih yang bisa diolah menjadi produk nikel kelas satu ini biasanya bijih nikel berkadar rendah di bawah 1,5% atau dikenal dengan limonite.
Sementara produk nikel kelas dua, seperti Nickel Matte, Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi) dan digunakan untuk produk stainless steel. Bijih nikel yang diolah pun biasanya berkadar tinggi di atas 1,5% atau bijih nickel saprolite.
Meskipun banyak yang bilang bijih nikel berlimpah di tanah Indonesia, namun sebetulnya cadangan nikel kadar tinggi itu tetap terbatas. Dengan banyaknya kebutuhan untuk pemanfaatan bijih nikel kadar tinggi (high grade), maka diprediksi umur cadangan nikel semakin pendek.
Saya khawatir, jika menerus seperti ini, daya tahan cadangan nikel RI mungkin hanya sekitar 7 tahun, 8 tahun, atau maksimum 12 tahun saja, tergantung jumlah feeding raw nickel tersebut secara tahunan. Sangat tergantung kepada jumlah fasilitas smelter yang selesai dibangun dalam beberapa tahun ini. Namun, hingga kini, belum ada angka pasti, di mana ada pendapat berbeda antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, asosiasi nikel, dan para pakar pertambangan. Mereka pun memprediksi tidak jauh sama, cadangan nikel berumur pendek.
Maka, harus ada langkah-langkah terkait untuk menambah neraca cadangan nikel. Bagaimanapun, sumber daya tidak bisa dihitung sebagai cadangan. Untuk menghasilkan cadangan, maka sumber daya harus dieksplorasi lagi, seperti dilakukan pengeboran dan penelitian sehingga bisa mendapatkan angka pasti menyoal cadangan nikel Nasional.
Ada kode Komite Cadangan Mineral Indonesia (KMCI) yang dibuat oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) dan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Keduanya bersama-sama menggodok kode ini menjadi satu kode standar, yang sekarang sudah dipakai oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), terkait neraca sumber daya dan cadangan untuk perusahaan yang go publik di Bursa Efek Indonesia.
Orang yang ahli dalam memproses hal di atas disebut dengan competent person. Dia bekerja, mengonversikan sumber daya menjadi cadangan dengan menerapkan faktor pengubah, maka sumber daya dan cadangan nikel kemudian bisa bertambah. Langkah lain yang bisa dilakukan adalah mengeksplorasi daerah baru (Greenfield) dan sumber daya (Brownfield). Tentu itu harus ada izin dan sumber daya dari perusahaan-perusahaan.
Di sisi bersamaan, masih banyak wilayah yang perlu dieksplorasi. Data yang saya peroleh, baru sekitar 34 persen dari total wilayah potensi mengandung nikel yang telah dieskplorasi. Masih ada 66% lagi potensi nikel yang belum dieksplorasi, belum digarap, ini bisa untuk menambah sumber daya dan cadangan. Itu ada di wilayah Indonesia Timur, seperti di Sulawesi, Maluku, Kalimantan, hingga Papua.
Lalu, berapa lama menentukan cadangan nikel? Jawabannya, tergantung luas wilayah. Jika wilayah agak luas, bisa sampai 6-8 tahun ialah waktu untuk menentukan jumlah nikel di suatu wilayah pertambangan. Sampai kita tahu, sebenarnya sumber daya dan cadangannya ada berapa. Dimulai dengan studi literatur, potensi pemetaan awal oleh geologis. Kemudian, dilakukan penelitian menggunakan metode geofisika, geoteknik, geomagnetik dan lainnya. Selanjutnya, ditentukan daerah prospek, lalu dilakukan pengeboran, dimulai dari regional dengan jarak 2 Km atau 5 Km di hutan.
Di sisi lain, setelah jadi nikel matte, nickel pig iron dan ferro nickel, seharusnya ini dilanjutkan oleh Kementerian Perindustrian, sampai menjadi industri manufaktur. Kalau tidak, komoditas tersebut semuanya akan diekspor ke luar negeri, terutama ke China. Sebab, sebagian besar produk nikel masih diekspor, karena belum banyak yang bisa diserap di dalam negeri untuk industri lanjutannya.
Kalau kita sudah punya industri turunannya, otomatis kita tidak perlu mengekspor lagi. Kita dapatkan nilai tambah yang jauh lebih besar, terutama harga jual itu berkaitan dengan devisa. Oleh sebab itu, harus ada industri yang dibangun di sini, untuk menyambut hilirisasi nikel, semisal industri stainless steel dan manufaktur lainnya seperti keperluan rumah tangga, rumah sakit, transportasi dll.
Nyatanya sampai saat ini, kita masih impor alat masak, alat makan seperti sendok, jarum suntik, juga alat kesehatan seperti gunting operasi, dan bahan-bahan untuk industri strategis lainnya, semisal untuk kapal perang, pesawat, peluru, kereta api, mobil. Kita masih impor.
Jangan salahkan perusahaan yang mengeskpor produk antara tersebut, karena belum diserap di dalam negeri. Memang, seperti di Morowali sudah dibangun pabrik pembuatan sendok dan garpu, tapi masih kecil kapasitasnya. Mudah-mudahan bisa berkembang lebih jauh. Untuk berkembang, maka harus ditarik investasi baik dari dalam ataupun luar negeri.
Kalau memang ini industri pionir, maka harus diberikan insentif fiskal semisal keringanan pajak, bea masuk barang modal, dlsb. Bahkan, kalau pemerintah mau, bisa sampai ada penugasan kepada BUMN khusus, semisal di bawah MIND ID atau yang di bawah Kementerian Perindustrian. Perusahaan itu khusus mengembangkan industri tertentu yang menyambut hilirisasi pertambangan.
Kalau secara normal, direksi BUMN itu tidak mau karena takut ada unsur korupsi. Sebab, ada pasal pidana korupsi (tipikor) menyangkut memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, atau menyebabkan kerugikan negara yang dianggap sebagai korupsi, lalu masuk penjara. Industri pionir jarang ada yang langsung untung di awal-awal. Tetapi, kalau ini sudah jalan, maka ekosistemnya akan terbentuk sendiri, dia bisa lebih efisien.
Lihat contoh Temasek Holdings, BUMN dari Singapura, sudah mendunia. Dia tidak ada campur tangan politik, dilepas, namun dikontrol oleh pemerintah Singapura, akhirnya berkembang kemana-mana.
Pilihan lain, hilirisasi bisa digarap oleh perusahaan swasta. Sebab, perusahaan swasta tidak ada risiko campur tangan aparat penegak hukum (APH) apabila mengalami kerugian. Kalau rugi, maka modalnya akan habis. Namun sebaliknya, jika untung, perusahaan itu kaya raya. Jadi antara dua pilihan.
Jalan tengahnya, harus ada instruksi presiden (Inpres) soal hilirisasi tambang kepada direksi BUMN atau ANTAM semisal untuk memproduksi sendok dan garpu. Jadi, mau tidak mau, perusahaan pelat merah melaksanakan perintah presiden. Hanya Inpres yang bisa mempercepat hilirisisasi ini untuk membangun ekosistem industri turunannya serta mengoptimalkan pendapatan negara.
Opini oleh
Rizal Kasli
Ketua Umum PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia)