Electricity

Ini Alasan Pemerintah Belum Berlakukan Pajak PLTU di Bawah 100 MW

Konstruksi Media – Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pengenaan pajak karbon bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas di bawah 100 megawatt (MW) baru mulai berlaku pada 2023. Pasalnya, total kapasitas terpasang PLTU ini terbilang kecil.

Menurutnya, berdasarkan data pelaporan APPLE-Gatrik tahun 2020 dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, total kapasitas terpasang PLTU di bawah 100 MW (3,5-65 MW) hanya 2.263,6 MW atau 3,17% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik.

Selain itu, kata Rida, PLTU dengan kapasitas di bawah 100 MW juga masih menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di luar pulau Jawa dan Sumatera terutama di daerah 3T.

“Sehingga dengan adanya penerapan perdagangan dan pajak karbon dikhawatirkan akan mengganggu operasional PLTU dan pasokan pada sistem,” ujar Rida dikutip pada Rabu (19/1/2022).

“Jangan sampai isu lain mempengaruhi penyediaan ketenagalistrikan. Kalau ini ditutup dengan alasan emisi sementara penggantinya belum ada? Jangan sampai lah,” sambungnya.

Berdasarkan pelaporan emisi di sub sektor ketenagalistrikan pada 2019, emisi CO2 dari PLTU di bawah 100 MW yang dihasilkan adalah sebesar 13,2 juta CO2. Angka ini setidaknya hanya 6,3% dari total emisi pembangkit listrik nasional.

Faktor lainnya, lanjut Rida, pelaporan emisi unit PLTU dengan kapasitas di bawah 100 MW masih menggunakan tingkat ketelitian (Tier) -2 dengan metode 1. Ini dilakukan karena terkendala biaya jika menggunakan metode dan tier yang lebih tinggi.

“Jadi yang 2023 itu di bawah 100 MW yang selama ini dikecualikan tidak bareng bareng dengan kelompok kapasitas pembangkit lainnya yang 2023 itu di bawah 100 MW,” katanya.

Untuk diketahui, Kementerian ESDM mengelompokkan tiga grup PLTU yang akan dikenakan pajak karbon. Hal tersebut ditentukan berdasarkan kapasitas pembangkit listrik, yakni kapasitas PLTU di atas 400 MW, 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang di atas atau sama 100 MW.

Pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April 2022 sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak ini akan mulai diberlakukan secara terbatas pada PLTU batu bara.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa sebelumnya menyebut bahwa pada dasarnya pemerintah harus menentukan fasilitas yang masuk atau tidaknya dalam pasar karbon.

Pemerintah juga perlu menetapkan jumlah produksi karbon minimum untuk masuk dalam pasar karbon guna menjaga efektivitas

“Kalau PLTU di bawah 100 MW tidak masuk dalam perdagangan karbon, artinya mereka harus dikenakan pajak secara langsung,” ujar Fabby dilansir dari Katadata.

Fabby pun menyarankan supaya aturan terkait implementasi pasar karbon juga dipersiapkan lebih dulu. Pasalnya, kewajiban untuk fasilitas-fasilitas yang menghasilkan emisi di atas ambang batas minimal belum masuk skema ini.

“Yang belum ada saat ini adalah kewajiban untuk fasilitas-fasilitas yang menghasilkan emisi di atas ambang batas minimal harus ikut dalam skema ini masih belum ada,” kata dia.***

Artikel Terkait

Leave a Reply

Back to top button