Pakar ITS Ingatkan Pentingnya Standar Keamanan Konstruksi Usai Ambruknya Ponpes di Sidoarjo
Perlunya pengawasan ketat dan keterlibatan tenaga ahli sejak tahap awal perencanaan hingga pelaksanaan konstruksi.
Konstruksi Media — Peristiwa ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/9), menjadi peringatan keras tentang pentingnya penerapan standar keselamatan dalam pembangunan gedung bertingkat. Menyikapi hal itu, pakar teknik sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr. Ir. Mudji Irmawan, MT, menegaskan perlunya pengawasan ketat dan keterlibatan tenaga ahli sejak tahap awal perencanaan hingga pelaksanaan konstruksi.
Dosen Departemen Teknik Sipil ITS tersebut menjelaskan bahwa pembangunan gedung bertingkat memiliki tingkat risiko tinggi jika tidak disertai perencanaan dan pengawasan sesuai kaidah teknik. Berdasarkan pengamatannya, sebagian besar kasus kegagalan struktur di Indonesia terjadi karena lemahnya sambungan elemen, mutu material yang tidak sesuai, dan minimnya kontrol teknis di lapangan.
“Sebagian besar keruntuhan bangunan berawal dari kelalaian manusia dalam proses konstruksi,” ungkap Mudji.
Ia menilai kasus ambruknya bangunan ponpes di Sidoarjo sebagai contoh nyata dari praktik pembangunan bertahap atau “gedung tumbuh” tanpa perhitungan ulang kekuatan struktur. Menurutnya, penambahan lantai tanpa evaluasi desain dapat menyebabkan kolom dan balok menanggung beban berlebih yang melampaui kapasitas awal.

“Setiap penambahan lantai harus disertai perencanaan struktural yang baru, karena beban pada bagian bawah meningkat signifikan,” jelasnya.
Sebagai langkah pencegahan, ahli teknik forensik dan investigasi kerusakan struktural tersebut menekankan pentingnya penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2847 tentang perencanaan beton bertulang. Dalam standar ini, kekuatan beton maksimal hanya boleh dihitung sebesar 85 persen dari mutu material nominal, guna memberikan margin keamanan terhadap variasi mutu atau kesalahan di lapangan.
“SNI telah mengatur faktor keamanan secara detail. Jika diterapkan dengan disiplin, potensi kegagalan bisa ditekan seminimal mungkin,” paparnya.
Baca juga: Doktor ITS Kembangkan Model Rantai Pasok Hijau Tekan Limbah Industri
Selain aspek teknis, Mudji juga menyoroti pentingnya pemenuhan legalitas pembangunan, seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), yang memastikan rancangan struktur telah diverifikasi oleh pihak berwenang. Ia menegaskan bahwa banyak proyek yang berjalan tanpa izin lengkap, sehingga kehilangan fungsi pengawasan teknis yang krusial.
“Perizinan bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk tanggung jawab untuk melindungi keselamatan pengguna bangunan,” tegasnya.

Sebagai bentuk kontribusi akademik, ITS membuka ruang kolaborasi antara perguruan tinggi dan masyarakat untuk meningkatkan keamanan fasilitas publik. Melalui kegiatan konsultasi dan pengabdian masyarakat, ITS siap memberikan pendampingan teknis bagi lembaga pendidikan atau pesantren yang merencanakan pembangunan.
“Kami siap membantu siapa pun yang ingin memastikan bangunannya aman secara teknis tanpa dipungut biaya,” ujar Mudji.
Ia menambahkan, sinergi antara akademisi, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu diperkuat agar setiap pembangunan mematuhi standar keselamatan nasional. Langkah tersebut, kata Mudji, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama poin ke-9 tentang Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, poin ke-11 tentang Kota dan Permukiman Berkelanjutan, serta poin ke-17 mengenai Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
“Keselamatan harus menjadi prioritas utama dalam setiap proses pembangunan, bukan sekadar pelengkap,” pungkasnya. (***)

