Arsitektur & Design

Sejarah Panjang Arsitek, Menuju Indonesia Bangkit

Perkembangan sejarah Arsitektur Indonesia dimulai pada tahun 1908, ketika sejumlah pemuda mendirikan Organisasi Budi Utomo.

Konstruksi Media – Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yuliantosejarah terbentuknya IAI berawal dari dorongan situasi dan kondisi industri konstruksi yang pada saat itu kurang sehat.

Arsitek tersohor F. Silaban, Liem Bwan Tjie, dan M. Soesilo beserta sebagian dari lulusan angkatan pertama Insinyur Bangunan berhasil membentuk Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) di Bandung, 17 September 1959.

“Saat itu, Soehartono Soesilo, Ketua IAI pertama, dan kawan-kawan bertekad memperkuat posisi profesi Arsitek, menyusun cara yang lebih baik untuk melayani kebutuhan masyarakat, seraya mencari dan menemukan jati dirinya sebagai ahli seni bangunan di alam Indonesia merdeka. Agenda Menuju Arsitektur Indonesia yang dilontarkan Prof. Ir.V.R.van Romondt tahun 1954, senantiasa menjadi obsesi segenap insan Arsitek Indonesia hingga saat ini,” ungkap Bugar sapaan akrabnya, Rabu, (25/01/2023).

Dia bercerita, perkembangan sejarah Arsitektur Indonesia dimulai pada tahun 1908, ketika sejumlah pemuda mendirikan Organisasi Budi Utomo. Dari 13 calon ketua, terdapat seorang Arsitek dari Semarang, bernama Mas Abukassan Atmodirono (1860-1920), lulusan sekolah pertukangan di Jakarta.

Bugar melanjutkan, pada tahun 1878, Mas Abukassan Atmodirono mulai bekerja di Kantor Pekerjaan Umum Hindia Belanda sebagai pengawas (opzichter) kelas 3.

Baca Juga : IARKI Gelar Urban Walking Tour, Susuri Wilayah Cikini Jakarta

Kemudian, setelah lulus ujian, di tahun 1901 Mas Abukassan Atmodirono menjadi Arsitek bumiputera yang pertama di Indonesia. 

“Pencapaian Atmodirono memiliki dimensi kultural, karena terbukti seorang bumiputera mampu merencanakan dan mengawasi pekerjaan keteknikan modern yang semula hanya dikuasai oleh orang Belanda. Sekali pun keahliannya datang dari ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, ketika merancang Gedung Sasono Suko di Solo (kini Monumen Pers Nasional) pada tahun 1918, Atmodirono tak melupakan akar budayanya,” jelas Bugar.

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto (Bugar). Dok. Ist

Manurutnya, karya arsitekturnya merintis ekspresi multi kultural yang unik, gabungan kreatifitas arsitektur Barat yang fungsional dan rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu-Jawa yang sarat simbol dan makna.

Perjalanan Arsitek di Indonesia akhirnya tiba di salah satu puncaknya ketika Fakultas Pengetahuan Teknik di Bandung dari Balai Perguruan Tinggi RI mendirikan Bagian Bangunan Umum (1950). Tujuannya, mendidik calon Insinyur Bangunan yang menguasai ilmu teknik sipil sekaligus memiliki pengetahuan estetika dan perihal bangunan utilitas, bangunan kota dan perumahan.

Lambat laun, sejak 1960 jumlah perguruan tinggi Arsitektur terus tumbuh dan berkembang, dan kini telah mencapai 170 Perguruan Tinggi Arsitektur.

“Di panggung internasional, beberapa karya Arsitek Indonesia telah diakui keistimewaannya. Penataan Kampung Kali Code di Jogjakarta, Pembangunan Kawasan Citra Niaga di Samarinda, Masjid Said Naum di Jakarta, dan terakhir Bandara Banyuwangi,untuk menyebutkan empat saja, dianugerahi Aga Khan Award for Architecture. Di ranah cagar budaya, upaya pelestarian Gedung Arsip Nasional di Jakarta tahun 2001 dan pelestarian Kampung Wae Rebo di Flores tahun 2012, telah menerima UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation,” terangnya.

Dia menambahkan peristiwa itu membuktikan kualitas karya Arsitek Indonesia diakui di tingkat dunia.

Kehadiran dunia Arsitektur di Indonesia diperkuat dengan terbentuknya APTARI (Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia), Ketua APTARI Yulianto Purwono Prihatmaji  menjelaskan, di bawah naungan APTARI, anak bangsa mulai dibimbing dan diarahkan secara terukur dan bertanggung jawab untuk mendapatkan persiapan yang matang menjalani proses menjadi Arsitek di tiap-tiap perguruan tinggi.

Dengan rujukan sistim validasi UIA (International Union of Architect)-salah satunya adalah Canberra Accord-maka capaian Pembelajaran Lulusan 16 Kompetensi Arsitek diadopsi sekolah Arsitektur di Indonesia dan tetap bersinergi dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing.

Di dalam keragaman itu para peserta didik didorong untuk memahami dan menguasai muatan tradisi lokal, sekaligus mengintegrasikannya ke dalam wujud arsitektur modern yang menjawab masalah perubahan iklim, pemanasan global, era disrupsi, dan siap beradaptasi dengan kelaziman baru.

“Untuk kesetaraan kualitas dan fasilitas sekolah Arsitektur di Indonesia, APTARI, IAI, DAI akan membentuk Indonesian Architectural Accrediting Board atau IAAB bersama Pemerintah dan para mitra yang lain,” ungkap Yulianto.

Sementara itu, IAI membentuk DAI (Dewan Arsitek Indonesia) yang independen dan mandiri. Saat ini diketuai oleh Bambang Eryudhawan, akrab dipanggil Yudha.

Ia mengatakan, sembilan anggota DAI dikukuhkan Menteri PUPR pada 3 Desember 2020, dan mengemban tugas dan fungsi untuk menetapkan seseorang menjadi Arsitek melalui Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).

“Uji kompetensi diselenggarakan DAI bagi lulusan pendidikan professional yang sudah magang di bawah pengelolaan IAI. Jika lulus serta tidak memiliki masalah hukum dan administrasi, DAI akan menerbitkan STRA. Yang bersangkutan kemudian berhak menyebut dirinya Arsitek (Registered Architect) dan melakukan Praktik Arsitek secara beretika dan bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan masyarakat pengguna. Bagi yang tidak memiliki STRA, maka yang bersangkutan tidak boleh menyebut dirinya Arsitek dan tidak boleh menjalankan Praktik Arsitek,” jelas Yudha mengingatkan.

Menurutnya, IAI sebagai satu-satunya asosiasi profesi arsitek akan membina kompetensi Arsitek agar mampu menjaga dan mengembangkan kemampuannya sesuai dinamika jaman.

“Soal-soal seperti green building dan urban heritage merupakan agenda kolektif yang mewarnai solusi kreatif imajinatif para Arsitek Indonesia dalam berkarya,” tutupnya.

Baca Artikel Selanjutnya :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp