Profil

Ibnu Susanto, Semangat Baja di Usia Hampir 83

Kerutan pada kulitnya, menandakan bahwa Ibnu Susanto telah lama bergulat dalam usaha besi baja, terutama bagian pipa.

Konstruksi Media, Jakarta –  Usianya tak lagi muda. Tetapi Ibnu Susanto masih berapi-api ketika bicara soal baja. Jiwa nasionalismenya langsung bangkit dan bergelora hebat.

“Konsumsi baja di Indonesia rendah, bahkan terendah di Asia Tenggara. Konsumsi baja di Indonesia sekitar 60 kg/kapita, bandingan dengan Singapura yang konsumsi bajanya sudah mencapai 273,5 kg/kapita,” kata Ibnu Susanto saat mengawali diskusi ringan dengan konstruksi media di ruang kerjanya, baru-baru ini.

Padahal, katanya, besi (baja) dibutuhkan dalam setiap aktivitas manusia. Sejak lahir hingga mati, manusia membutuhkan besi. Di darat, laut, dan udara, di mana saja, besi dibutuhkan. Pesawat, kapal laut, kendaraan mobil, dan sebagainya, pasti mengandung unsur besi.

Besi atau logam terdapat di sekeliling keseharian umat manusia. Mulai dari kerangka rumah, fondasi (beton), pipa kompor gas, pipa air, kendaraan,  dan masih banyak lagi.

“Besi ibarat tulang pada tubuh manusia. Tanpa besi tubuh kita bisa tak berdaya karena tidak ada sesuatu yang menopang tubuh manusia untuk berdiri tegak dan menjalani kehidupan secara normal. Besi kuat, negara kuat,” katanya berapi-api.

Baca juga: Ibnu Susanto: Besi Ibarat Tulang dalam Tubuh

Guratan pada wajahnya, menjadi indikasi kuat bahwa Ibnu Susanto telah hidup melintasi aneka zaman. Pria yang lahir di Cisauk, Serpong, Tangerang 16 Mei 1941 dan semula bernama U Tjeng Sioe ini telah menjalani kehidupan di negeri ini di era 7 Presiden, sejak Presiden RI pertama Ir Soekarno hingga Presiden RI ke-7 Ir Joko Widodo. Bahkan, ia akan tetap mengarungi samudera kehidupan di era Presiden RI ke-8.

Kerutan pada kulitnya, menandakan bahwa Ibnu Susanto telah lama bergulat dalam usaha besi baja, terutama bagian pipa. Anak ke-tiga dari 13 bersaudara ini mengawali kariernya pada 1 Juni 1961 sebagai karyawan di toko Tiga, toko onderdil sepeda milik adik bungsu kakeknya (engkong).

Di sini, ditengah teriknya matahari, ia acap melakukan pekerjaan memotong pipa besi sebagai bagian dari onderdil sepeda. Berkat kerja keras dan keuletannya, sembilan tahun kemudian atau pada 1970, Ibnu membuka bisnis pertamanya di bidang impor besi.

Dinukil dari buku “Semangat Baja Ibnu Susanto” (Kompas Gramedia, 2021), Ibnu mendirikan perusahaan pertamanya yang diberinama Vidi Vici dan tokonya diberinama Kamajaya di atas lahan seluas 400 meter persegi yang dibelinya di Jl Pangeran Jayakarta No 55 (kini menjadi Gedung Baja, perkantoran berlantai 10 yang menjadi kantor pusat perusahaan-perusahaan milik Ibnu).

Dari sini, Ibnu berekspansi dengan membeli seluruh saham PT Radjin Knitting Manufacturing, sebuah pabrik tekstil di Surabaya. Pada 1973, Ibnu mendirikan PT Sarana Steel dengan bisnis utamanya adalah baja (steel). Ia menggunakan bekas pabrik tekstil sebagai pabrik pipa besi.

Pada 1989, Ibnu membeli seluruh saham Kawasaki Steel Corporation dan Itochu Corporation. Dua tahun kemudian ia membangun pabrik manufaktur di Pasuruan, Jawa Timur yang memproduksi Spiral Submerged Arc Welded (SSAW).  Pada 1993, perusahaan ini bertransformasi menjadi PT Steel Pipe Industry of Indonesia (SPINDO), yang kini menjadi salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang memproduksi pipa baja.

Dari catatan pendek perjalanan hidupnya, Ibnu Susanto jelas sudah sangat memahami seluk-beluk industri besi baja. Tak heran jika ia selalu berapi-api setiap bicara soal baja.

Ibnu menjelaskan, ada sejumlah faktor yang jadi penyebab mengapa konsumsi baja di Indonesia rendah. Pertama dan utama, katanya, membanjirnya produk China di pasaran Indonesia.

Padahal, banyak produk baja asal China yang beredar di pasar Indonesia tersebut memiliki kualitas yang rendah. Bahkan sama sekali tak mengantongi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pemerintah dinilainya kurang protektif terhadap produk baja nasional, terutama di tingkat pengawasan. “Regulasi kita cukup bagus, hanya saja pengawasannya yang kurang. Pemerintah dan pabrikan harus satu arah. Pemerintah harus memberikan perlindungan bagi pabrikan demi kepentingan nasional,” katanya.

Kedua, industri baja di hulu masih sedikit. Padahal, katanya, Indonesia memiliki sumberdaya mineral dengan kualitas bagus.

Tetapi total produksi baja di Indonesia hanya sekitar 18 juta ton. Bandingkan dengan China yang total produksinya di atas 1 miliar ton/tahun dan menguasai lebih dari 55% konsumsi baja dunia.

Dikatakan, Spindo sendiri bukan perusahaan dan pabrik peleburan besi baja. Spindo adalah pabrik pipa baja yang memproduksi berbagai macam pipa dan tabung baja serta produk terkait (pipa karbon dan pipa baja tahan karat/stainless steel).

Ia berharap, di masa-masa mendatang tingkat konsumsi baja nasional akan meningkat seiring pertambahan jumlah manusia dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, besi ibarat tulang dalam tubuh manusia. (Hasanuddin)

Artikel Terkait

Back to top button