Renewable

Klaim Ramah Lingkungan, Teknologi ITF Tebet Banyak Digunakan Negara Maju

Konstruksi Media – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menugaskankan Perumda Pembangunan Sarana Jaya untuk membangun Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA) atau Intermediate Tratment Facility (ITF) di dalam kota. Salah satunya di Tebet, Jakarta Selatan.

Direktur Utama Perumda Sarana Jaya Agus Himawan memastikan, penggunaan teknologi ITF Tebet ini ramah lingkungan. Yakni, yakni alat pemusnah sampah hydrodrive yang telah banyak digunakan negara maju.

“Teknologi itu digunakan di beberapa negara maju seperti Jepang, Australia, dan Austria,” ujar Agus dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (15/9/2021).

Berdasarkan data dari Eurostat, ungkapnya, pada 2019 tren penggunaan teknologi alat pemusnah sampah hydrodrive terus meningkat sejak tahun 1995 sampai 2019.

“Peningkatan di 12 persen menjadi 27 persen penggunaan insinerator,” ucap Agus.

Bahkan selama kurun waktu 25 tahun itu, tercatat lebih dari 1 miliar ton sampah di Eropa yang berhasil dimusnahkan dengan teknologi tersebut.

Sehingga, teknologi alat pemusnah sampah hydrodrive dinilai mampu mengurangi residu sampah hingga tersisa hanya 10 persen dan efisien dari segi operasional.

“Dengan begitu, FPSA Tebet dapat memastikan kenyamanan, kebersihan dan kesehatan masyarakat sekitar dan mitigasi risiko bau, asap, bising, dan banjir,” imbuh Agus.

Agus menyampaikan, pada tahap awal pihaknya akan membangun FPSA Tebet di lahan relokasi depo sampah Taman Honda Tebet.

Rencananya dibangun sesuai dengan peruntukkan tata ruang yang dapat diakses publik dan terintegrasi dengan area publik, rekreasi edukasi, berolahraga, dan ruang terbuka hijau.

“FPSA Tebet tidak hanya menjadi solusi untuk pengelolaan sampah ramah lingkungan dan bertanggung jawab, tapi untuk mendukung kebutuhan masyarakat akan fasilitas ruang terbuka hijau,” jelas dia.

Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, tempat pengolahan sampah seperti ITF harus terpisah dan jauh dari pemukiman.

Sebab, pembangunan ITF yang dekat dengan pemukiman memiliki resiko penolakan yang tinggi dari warga.

“Pasti penolakannya tinggi karena resiko, efek polusi yang dikeluarkan dari sampah itu, bukan hanya baunya tapi juga itu ada limbah beracun juga ketakutannya disitu,” kata Trubus.

Menurut Trubus Pemprov DKI Jakarta mesti mencari alternatif tempat lain untuk membangun proyek tersebut. Trubus menyebut masalah sampah adalah masalah klasik yang sampai hari ini Pemprov DKI Jakarta belum bisa menemukan cara yang tepat dan tempat yang laik untuk mengelola sampah seperti halnya di Bantar Gebang.

“Kalau membangun pengelolaan sampah karena alasan Bantar Gebang, itu masalah klasik. Soal Bantar Gebang juga itu sama jadi sampai hari ini Pemprov DKI itu tidak bisa mencari tempat yang dipakai untuk tempat pembuangan sampah,” ulasnya.

Trubus mencontohkan proyek pengelolaan sampah di dalam kota atau Intermediate Treatment Fasility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara yang diklaim menggunakan teknologi tepat guna, teruji dan ramah lingkungan, di bawah kendali Pemprov DKI Jakarta ternyata mangkrak alias jalan di tempat, tidak sesuai dengan harapan sehingga belum bisa digunakan untuk mengurai masalah sampah yang ada di Ibu Kota.

“Seharusnya dengan teknologi bisa, tapi yang di Sunter itu ternyata gagal, artinya nggak sesuai target, yang di Sunter itu kan ada ITF ya, itu nggak mencapai yang diharapkan,” bebernya.***

Artikel Terkait

Leave a Reply

Back to top button