HSEINFO

Ir SUPANDI, MM: Mabuk Ikan Patin, K3, & Sampah Pikiran (3-Habis)

Dia sudah begitu banyak melampaui berbagai hal dengan segala rintangan dan kebahagiaan. Ia sudah melintasi aneka zaman, dari zaman serba manual hingga super canggih sekarang ini.

Konstruksi Media – Perkenalan Supandi dengan dunia K3 dimulai ketika selepas SMA melanjutkan studi ke Akademi Industri Militer tahun 1971. Ayahnya memang seorang militer sehingga kedisiplinan, ketegasan, dan keteraturan sudah mengalir dalam darah Supandi sejak usia dini.

Di Akademi Industri Militer, ia belajar antara lain tentang pembuatan mesiu, senjata, amunisi, yang bersinggungan dengan aneka risiko dan bahaya. Supandi mencontohkan dalam pembuatan mesiu, ada namanya ilmu perapian.

“Dalam memroduksi mesiu, ada benda tergesek sedikit saja, akan memimbulkan percikan api dan akan memicu terjadinya ledakan dan kebakaran,” jelas Supandi melanjutkan, Senin, (24/10/2022).

Di bangku kuliah, secara tidak disadari, Supandi dituntut untuk selalu berhati-hati dalam setiap langkah yang diambil.  Di sinilah Supandi muda mulai memahami betapa pentingnya aspek K3. Selain memang ada satu mata kuliah tentang Keselamatan Kerja, juga karena tuntutan lingkungan kuliah. 

Kebetulan waktu itu, UU Keselamatan Kerja baru diundangkan pemerintah yaitu UU No 1 tahun 1970. Mata kuliah ini diajarkan oleh para dosen berkebangsaan asing dan bagi mereka K3 sudah menjadi bagian yang utama.

Supandi memperdalam ilmu K3 yang diperolehnya di bangku kuiah, dengan membaca sejumlah buku tentang K3 karangan Dr dr H Suma’mur PK. Diakuinya, pendidikan K3 diperoleh secara tidak sengaja. Tetapi lahir dari tuntutan lingkungan dan sekolah, yang lambat laun menjadi darah daging bagi Supandi di tahun-tahun kemudian.

Baca Juga : Ir SUPANDI, MM: Mabuk Ikan Patin, K3, & Sampah Pikiran (2)

Selepas Akademi Industri Militer yang pada tahun 1972 berganti nama menjadi Akademi Industri Logam, ayah dua anak ini justru tidak berkarier sebagai militer sebagaimana mendiang ayahnya. Ia memilih untuk bekerja di Metal Industries Development Center (MIDC) Bandung yang merupakan lembaga bentukan kerjasama Indonesia dan Belgia.

Di sini, selama tiga tahun (1975 – 1978), ia benar-benar merasakan bagaimana bekerja dengan orang luar yang kala itu penerapan K3-nya sudah maju. Budaya kerjanya sudah menggunakan SOP yang ketat karena lingkup pekerjaan di kantor tersebut sangat bersinggungan dengan berbagai risiko dan bahaya seperti pengelasan (welding), pengecatan logam, dan sebagainya yang merupakan pekerjaan berisiko tinggi (high risk). 

Ir SUPANDI, MM salah satu tokok K3 Nasional. Dok. Ist

Pengetahuan dan pemahaman K3 Supandi makin terasah. K3 lantas menjadi bagian dari pakaian keilmuan Supandi. Supandi muda juga melanjutkan studi dengan mengambil kuliah Teknik Metalurgi di salah satu perguruan tinggi di kota Bandung.

Meski tak secara langsung bersekolah tentang ilmu K3, toh berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya, pada 1986 Supandi mulai aktif mengajar di STTIB yang kini bernama Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) di Bandung.

Kala itu K3 masih merupakan mata kuliah khusus dan belum peminatan. Tahun 1983 Supandi diterbangkan ke Jepang oleh perusahaan tempatnya bekerja untuk belajar manufaktur yang di dalamnya banyak terdapat standar-standar K3. Sebelumnya, ia banyak dikursuskan tentang K3 oleh perusahaan yang sama.

“Jadi saya bukan belajar khusus K3 tetapi dilahirkan untuk terus menggunakan K3 karena semua pekerjaan saya berbasis risiko di atas rata-rata,” katanya sambil tersenyum.

Saat terbang ke Jepang untuk mengikuti pendidikan khusus selama satu setengah tahun (1984 – 1986), Supandi tidak kaget ketika melihat budaya masyarakat Jepang yang sudah menerapkan aspek HSE secara ketat.  Bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana masyarakat Jepang mendidik anak-anak mereka sejak dini untuk bisa hidup mandiri dengan tidak melakukan antarjemput ke dan dari sekolah. Bagaimana anak-anak di Jepang sudah diajarkan tentang tata cara makan, membuang sampah pada tempatnya, disiplin, dibiasakan antre, menghormati orang, dan segala sendi kehidupan sehari-hari lainnya.

“Semua hal yang tampaknya sederhana itu justru akan menjadi cikal-bakal bagaimana budaya K3 akan terbentuk pada setiap individu di Jepang di kemudian hari,” tuturnya.

Selain itu, sepanjang perjalanannya, Supandi juga banyak terlibat dalam kegiatan lingkungan dan sosial secara langsung. Misalnya terlibat dalam proyek Pengembangan Masyarakat Dayak Kalimantan Timur dan Pengembangan Masyarakat Perani Akar Wangi, Garut. Belum lagi keterlibatannya dalam berbagai standarisasi di Tanah Air.

Supandi pun pernah menjabat sebagai Kepala Balai Riset dan Standarisasi Banjarbaru Kalimantan Selatan (2002 – 2004). Lalu, dari sini ditarik menjadi Kepala Bidang Sertifikasi di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik Bandung (2004 – 2006).  Berbekal pengetahuan dan pengalaman itu pula Supandi banyak terlibat dalam berbagai standarisasi baik di tingkat nasional maupun internasional seperti keterlibatannya dalam ISO 45000 series.

Supandi juga masih berkegiatan dalam bidang standarisasi sejak 2015 dengan menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Standarisasi Indonesia (MASTAN) dan sebagai anggota Komite Kebijakan Pengembangan Standar (KKPS). Disampung itu Supandi juga menjadi anggota Komite Teknik yang menangani standarisasi K3L. Pada 2016  hingga 2018 menjadi juri SNI Award.

Kini ia didapuk menjadi Direktur Utama PT Unilab Perdana, sebuah laboratorium lingkungan pertama dan terbesar di Indonesia sejak 2018 sampai sekarang. Sebelumnya pada 2012 – 2017, Supandi duduk sebagai Direktur di PT Unilab Perdana.

Transformasi Teknologi

Supandi kini tak lagi muda. Dalam menapaki perjalanan hidup, ia sudah begitu banyak melampaui berbagai hal dengan segala rintangan dan kebahagiaan. Ia sudah melintasi aneka zaman, dari zaman serba manual hingga super canggih sekarang ini. Di saat manusia berada di puncak teknologi, justru di saat itu pula Supandi menjadi resah dan gelisah.

Baginya, pencapaian kemajuan teknologi digital, pada lapis lain justru melahirkan keriuhan tersendiri yang datang menghampiri tanpa diundang dan tanpa disadari. Aneka informasi berseliweran di jagat medsos. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, dan setiap hari. Tak ada yang bisa mengerem apalagi membendungnya. Berbagai informasi tersebut terus menerus membanjiri jagat medsos yang diakses melalui telepon genggam pintar, laptop, dan televisi.

Bersenda gurau bersama cucu. Tak jarang Supandi menyelipkan edukasi K3 dalam tingkat praktis sederhana kepada sang cucu. Dokumentasi Pribadi

Baik dan benar, urusan belakangan. Yang penting informasi mengalir deras; mencekoki otak setiap manusia yang membaca dan melihatnya. Situasi ini mendorong Supandi pada sebuah perenungan; sampah pikiran. Ia mendefinisikan sampah zaman milenial sebagai sampah pikiran. Bukan sampah dalam arti fisik, tetapi sampah dalam arti non-fisik yaitu pikiran.

Sampah pikiran dimaksud bersifat mikro dan makro. Mikro ada pada diri sendiri, sedangkan makro terkait di luar diri sendiri alias lingkungan. Sampah pikiran harus dibuang. Otak harus bersih. Otak yang bersih akan melahirkan pemikiran yang bersih dan jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat akan membuat kita sebagai manusia menjadi unggul dan tangguh.

“Kita harus bisa langsung memilah dan memilih ketika menyerap suatu informasi yang masuk otak. Jika tidak baik, informasi itu akan mengendap di otak dan menjadi sampah pikiran. Sampah pikiran yang menumpuk di otak akan memicu tingkat stress, yang pada gilirannya akan mengundang berbagai penyakit ke tubuh,” ungkap dia.

Dalam skala makro, sampah pikiran yang menumpuk di otak akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kurang sehat. Bangsa yang kurang sehat, akan menjadi bangsa yang tertinggal. (Hasanuddin/Habis).

Baca Artikel Selanjutnya :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp