Catat! Ini Kontribusi Geothermal Dalam Menghemat Devisa
Konstruksi Media – Manager Government & Public Relation Pertamina Geothermal Energy, Sentot Yulianugroho menyampaikan bahwa Geothermal atau energi panas bumi selain digunakan untuk pembangkit listrik, juga ikut berkontribusi dalam pembangunan daerah.
Sentot mengatakan, keberadaan PLTP dari sisi ekonomi makro telah berkontribusi terhadap penghematan devisa. Sejak tahun 1997, Indonesia harus mengimpor minyak karena produksi dalam negeri tak sanggup memenuhi konsumsi yang terus meningkat.
“Beroperasinya PLTP secara tidak langsung berkontribusi terhadap penghematan cadangan devisa migas,” ujar Sentot dalam keterangan tertulis yang dikutip, Kamis (5/8/2021).
- Challenge Global Operators, Caterpillar Mengundang Operator Paling Terampil Untuk Unjuk Gigi
- Brantas Abipraya Rampungkan Proyek Bendungan Sidan Bali, Suplai Air Baku 1.750 liter/detik
- ATI Sebut 3.020 Km Jalan Tol Indonesia Siap Menyambut Nataru 2024/2025
Dia menjelaskan, dengan kapasitas nasional PLTP Indonesia sebesar 2.130,6 Megawatt, berarti setara dengan 100,778 Barrel Oil Equivalent Per Day (BOEPD) yang jika digenapkan satu tahun menjadi 36,78 juta Barrel Oil Equivalent. Jika diasumsikan harga satu barel minyak US$ 50, devisa yang bisa dihemat selama setahun dari keberadaan PLTP sebesar US$ 1,84 miliar.
“Dengan perhitungan yang sama, PGE dengan 672 MW nya memberikan kontribusi penghematan devisa US$ 580 juta per tahun,” lanjutnya.
Menurut Sentot, keberadaan geothermal juga berkontribusi terhadap pajak dan PNBP (pendapatan negara bukan pajak). PGE berkontribusi memberikan 34% dari pendapatan bersihnya (Nett Operating Income) setiap tahun kepada negara.
Pemasukan di antaranya untuk PPh karyawan, bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan impor, serta pajak daerah dan retribusi daerah. Untuk PNBP, diperoleh dari all inclusive yang dipatok 34 persen, dan khusus untuk daerah penghasil, PGE dan pengembang panas bumi yang sudah berproduksi juga membagikan bonus produksi sebesar 1(satu) persen dari penjualan uap atau 0,5 persen penjualan listrik, yang disetor langsung ke kas daerah.
Sentot menyampaikan bahwa kehadiran PLTP juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal lewat partisipasinya dalam pembangunan daerah. Kontribusi paling utama adalah pembangunan infrastruktur.
“Dengan lokasi yang selalu berada di remote area, perusahaan harus membangun infrastruktur jalan untuk memperlancar transportasi logistik. Jalan yang tadinya hanya berupa tanah, bahkan hanya jalan setapak, diperlebar dan diaspal. Bahkan jika tanahnya labil, dilakukan pembetonan,” ungkapnya.
Sentot mencontohkan, masyarakat Desa Ngarip di kawasan lapangan geothermal Ulubelu, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, merasakan betul infrastruktur jalan yang dibangun PGE. Dulu, jika hujan lebat, masyarakat bisa memakan waktu sehari semalam bermobil untuk sampai ke Kota Pringsewu yang berjarak 55 kilometer.
“Sekarang cukup kurang dari dua jam dalam cuaca apa pun. Dampaknya, ekonomi Desa Ngarip dan desa-desa yang dilintasi jalan beraspal tersebut ikut berkembang. Kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat meningkat signifikan,” ucapnya.
Di area PGE Area Lumut Balai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dua desa di Kecamatan Semende Darat Laut, Desa Penindaian dan Desa Babatan, juga menjadi terhubung jalan aspal. Sebelumnya, kedua desa itu jauh berada di dalam hutan dan produk pertaniannya sulit bersaing karena mahalnya biaya transportasi.
Kini, produk pertanian dari dua desa tersebut lebih laku di pasaran. Di PLTP Kamojang, berbagai tempat di sana menjadi tempat wisata yang menjadi magnet turis lokal. Begitu juga di lapangan geothermal Karaha, Lahendong, dan Sibayak.
Sentot mengakui, Indonesia masih relatif muda dalam pengembangan geothermal dibandingkan negara seperti Amerika, Italia, Selandia Baru, Jepang, Islandia. Namun, pengembangan sumber energi yang ramah lingkungan itu masih sangat terbuka lebar. PGE pun berkomitmen meningkatkan inovasi bisnis yang bermanfaat tidak hanya untuk kinerja perusahaan, tapi juga keberlangsungan lingkungan untuk masa depan.
“Upaya ini menjadi misi PGE untuk menjadikan panas bumi sebagai beyond energy,” katanya.
Lebih lanjut Sentot menjelaskan, keberadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berperan mengurangi emisi gas buang karbon dioksida (CO2). Berdasarkan perhitungan versi Carbon Neutral Calculator, pengurangan gas rumah kaca bahkan telah mencapai 14,91 juta ton CO2 per tahun.
“Jumlah itu didapatkan berdasarkan kapasitas PLTP di Indonesia sebesar 2.130,6 Megawatt. PGE yang sudah mengoperasikan pembangkit listrik geothermal sejak hampir lima dekade lalu sudah turut mengurangi berjuta-juta ton gas CO2,” katanya.
Saat ini saja, kata Sentot, dengan kapasitas 672 MW, PGE sebagai bagian dari Sub Holding Pertamina PNRE telah berpartisipasi mengurangi 3,6 juta ton CO2 per tahun. Menurutnya, partisipasi pengurangan CO2, sebagaimana khazanah penyelamatan lingkungan global.
“Dunia memang berkomitmen untuk mengurangi gas rumah kaca, terutama CO2, yang sangat berpengaruh terhadap perubahan komposisi atmosfer dan perubahan iklim global,” katanya.
Sentot mengungkapkan, Presiden Joko Widodo dalam acara ‘Working Lunch on Development and Climate Change’ di KTT G20, Antalya, Turki pada 15 Juni 2018 lalu menyatakan Indonesia siap melakukan aksi nyata dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Pengurangan emisi tersebut merupakan konsekuensi dari penandatanganan Protokol Kyoto oleh 188 negara pada 11 Desember 1997, dan Indonesia termasuk di dalamnya,” ujarnya.
Sentot mengatakan, hingga saat ini PGE mengelola tujuh proyek dalam kerangka Clean Development Mechanism (CDM), enam di antaranya terdaftar di UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).***