Konstruksi Media – Keberadaan rumah sebagai hunian tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia. Ada tiga serangkai kebutuhan dasar manusia yakni sandang, pangan, dan papan. Papan diartikan sebagai tempat tinggal.
Wakil Ketua Ketua bidang Pengembangan Advokasi dan Perlindungan Konsumen The HUD Institute Muhammad Joni mengatakan tempat tinggal berkenaan dengan kemanusiaan, yang dinormakan sebagai kesejahteraan rakyat dan dimaknai dengan hak asasi manusia (HAM), tepatnya hak ekonomi sosial budaya atas tempat tinggal yang dikenal sebagai hak atas rumah (housing rights).
“Karena itu kemiskinan perumahan yang dialami warga yang menghuni rumah tidak layak huni, maupun homelessness and housing problems bukan hanya lekat dengan penyandang masalah sosial, namun berarsiran dengan pencederaan HAM,” kata Joni dikutip dari makalahnya di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Baca juga: Harga Naik, Penyaluran Rumah Subsidi MBR Disinyalir Turun
Oleh karena itu, ujar Joni, pemenuhan hak bertempat tinggal menjadi agenda penting dalam menaikkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia – yang sedang menuju Indonesia Emas 2045.
“Namun, Indonesia mengalami kekurangan rumah (backlog) yang tinggi. Demikian pula hunian rumah tidak layak huni, maupun kawasan kumuh kota yang menjadi gejala sosial-ekonomi kesenjangan kesejahteraan perumahan dan permukiman di perkotaan,” jelasnya.
Joni menilai situasi kesejahteraan perumahan rakyat mengkhawatirkan, khususnya di perkotaan dengan laju urbanisasi dan penduduk kota mencapai 57,9% (2022), dan terus meningkat menjadi 68% pada 2050 mendatang. Merujuk data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa rumah
tangga yang menghuni rumah layak huni masih 56,75%.
“Artinya hampir separuh rumah tangga (43,25%) menghuni perumahan yang tidak layak huni. Realitas itu menjelaskan kemiskinan perumahan yang kasat mata, akut, massif, dan berlanjutan,” ujar dia.
Di sisi bersamaan, backlog perumahan masih tinggi yang dibedakan antara backlog kepemilikan yang tercatat 12,75 juta (2020) dan backlog penghunian yang tercatat 6,36 juta. Selain itu, adanya penambahan Rumah Tangga baru sekitar 700-800 ribu per tahun dalam kurun tahun 2010-2020.
“Sebaran backlog kepemilikan terkonsentrasi di provinsi dan kawasan kota metropolitan (seperti Jabodetabek, Bandung Raya, Mebidangro),” katanya.
Baca juga: Zulfi Syarif Koto Tagih Janji Manis Korpri Dukung Sektor Perumahan untuk ASN dan MBR
“Keadaan itu ditambah pula kapasitas fiskal yang kecil untuk anggaran pembangunan perumahan, berikut kemampuan (affordablity) rakyat atau kelompok MBR yang rendah dalam hal daya beli, daya cicil, sewa perumahan sehingga memerlukan intervensi kebijakan afirmatif (affirmative policy)pemerintah,” ujar dia lagi.
Ia pun menyebutkan bunyi Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan,” tutur Joni.
Selain itu disebutkan juga substansi UU HAM Pasal 40, yakni “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”
Joni menambahkan, juga haru merujuk ke UU No. 1 Tahun 2011 (UU PKP), dengan poin penting “negara bertanggung jawab segenap bangsa Indonesia agar masyarakat menghuni rumah yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan.” dan “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi
MBR [Pasal 54 ayat (1])”.
Sementara jika merujuk pada Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat disebut wajib terkait penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Joni menandaskan, kesenjangan antar daerah dalam pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan perumahan masih peringkat prioritas terendah sehingga kemiskinan perumahan rakyat masih menjadi pembentuk utama potret kesenjangan sosial-ekonomi.
“Kota-kota besar maupun metropolitan di Indonesia belum lepas dari perwajahan ruang sosial dan ruang spasial yang kontras antara kawasan bisnis, real estate elit, maupun permukiman mewah yang bersisian kontras dengan komunitas warga menempati hunian tidak layak huni, kampung ‘terjepit’ di tengah beton kota, dan meluasnya kawasan kumuh kota,” kata dia.
Baca artikel lainnya: