
Konstruksi Media – Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, dan Proyek Strategis Nasional, Akhmad Ma’ruf, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak kebijakan tarif baru Amerika Serikat atau ‘Tarif Trump’ terhadap produk asal Indonesia.
Penerapan tarif dasar sebesar 10% dan tarif resiprokal hingga 32% untuk produk ekspor Indonesia dinilai akan berdampak serius terhadap sektor industri, konstruksi hingga manufaktur dalam negeri.
Menurutnya, kebijakan tersebut berisiko menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Produk-produk asal Indonesia akan menghadapi tarif yang jauh lebih tinggi dibandingkan produk dari negara lain, terutama Malaysia yang hanya dikenai tarif resiprokal 24% dan bahkan mendapat penurunan tarif hingga 6,43% untuk produk Solar PV.
“Kondisi ini tidak hanya memperburuk daya saing, tapi juga berpotensi memicu relokasi produksi ke negara-negara yang lebih menguntungkan secara tarif,” kata Akhmad, melalui keterangannya, Senin (7/4/2025).
Akhmad menyoroti kondisi di wilayah Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) yang memiliki kontribusi ekspor langsung ke pasar Amerika mencapai 25%. Ia menilai kawasan ini membutuhkan perlindungan khusus dan idealnya ditetapkan sebagai Foreign Trade Zone dengan status Privileged Foreign Status, mengingat kawasan BBK tidak dikenai aturan kepabeanan termasuk bea masuk dan PPN/PPNBM.
Kondisi ini diperparah dengan adanya pembentukan Johor–Singapore Special Economic Zone yang memberikan keuntungan tarif lebih kompetitif kepada Malaysia. Banyak investor asing di Batam juga memiliki fasilitas produksi di negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Thailand, China, hingga India.
“Jika tidak ada perubahan kebijakan tarif dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia, sangat mungkin terjadi perpindahan produksi (diverting/switching production) ke negara-negara tersebut,” ucapnya
Kadin juga menyoroti pentingnya percepatan perizinan investasi untuk proyek strategis nasional, khususnya di bidang pertanahan, lingkungan, dan perizinan dasar lainnya yang saat ini masih menjadi kendala utama. “Hal ini sangat penting bagi keberlangsungan tujuh proyek strategis nasional yang sedang dikembangkan di Kepulauan Riau, terutama dalam pengembangan hilirisasi sumber daya alam,” katanya.
Kepulauan Riau saat ini menjadi pusat industri manufaktur Solar PV dengan 26 perusahaan aktif yang memproduksi rantai pasok Solar PV seperti ingot, polysilicon, solar cell, dan wafer. Industri ini menyumbang sekitar USD 350 juta ekspor per bulan ke pasar Amerika Serikat dan mempekerjakan lebih dari 10.000 tenaga kerja langsung serta 30.000 tenaga kerja tidak langsung. Jika situasi tarif ini berlanjut tanpa solusi konkret, risiko kehilangan pekerjaan secara besar-besaran sangat tinggi.
Sebagai alternatif, Akhmad Ma’ruf mendorong pemerintah untuk meninjau ulang rencana ekspor energi hijau ke Singapura. Jalur ekspor listrik ini dapat menjadi pasar baru yang menopang keberlangsungan industri Solar PV di Kepulauan Riau dan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat.
“Dengan terbukanya jalur ekspor energi, potensi pengembangan industri berbasis energi hijau di wilayah tersebut dapat terus tumbuh dan membantu diversifikasi ekspor nasional,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah Indonesia segera mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi industri dalam negeri, menjaga stabilitas sosial ekonomi, dan menghindari gelombang pemutusan hubungan kerja. Dengan strategi dan kebijakan yang tepat, Indonesia—khususnya Kepulauan Riau—diyakini tetap bisa menjadi pusat industri strategis yang kompetitif dan berkembang pesat di tingkat regional maupun global. (***)