HeadlineINFONewsOPINIProfil

Ketangguhan Rantai Pasok, Tantangan Tarif Impor Global dan Realitas Industri Konstruksi Indonesia dalam Bingkai Efisiensi Anggaran

Menyongsong Supply Chain Summit Indonesia 2025 

Oleh: Amril Taufik Gobel, Vice President Procurement EPC dan Investasi Divisi Supply Chain Management PT Nindya Karya

Pada tahun 2025, industri konstruksi Indonesia berdiri di persimpangan jalan antara tekanan global dan tantangan domestik. Ketika dunia bergulat dengan gejolak tarif impor yang kian fluktuatif, sektor konstruksi Indonesia pun turut merasakan getarannya.

Namun, bukan hanya faktor eksternal yang menekan; dari dalam negeri, kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah memaksa seluruh ekosistem industri untuk berpikir ulang soal cara mereka beroperasi dan bertahan.

Di tengah lanskap yang penuh tekanan ini, kemampuan membangun resilient supply chain—rantai pasok yang tangguh dan adaptif—bukan lagi sekadar keunggulan kompetitif, melainkan menjadi kebutuhan dasar.

Meningkatnya Ketegangan Tarif Impor Global

Dinamika ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami pergeseran tajam. Proteksionisme dagang yang meningkat di negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, mulai menciptakan gelombang yang menjalar ke seluruh dunia.

Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan tarif impor AS yang dapat menyebabkan restrukturisasi perdagangan internasional. Tarif 32% yang diberlakukan AS memiliki implikasi signifikan bagi Indonesia dan menuntut respons strategis dalam menghadapi tantangan yang terus berkembang.

Kebijakan ini secara langsung memicu kenaikan harga material di pasar internasional dan turut menyulitkan negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang masih sangat tergantung pada pasokan bahan konstruksi dari luar negeri. Biaya input konstruksi saat ini masih sekitar 40% lebih tinggi dibandingkan Februari 2020 menurut Bureau of Labor Statistics.

Sebagai respons, Indonesia mengumumkan serangkaian konsesi perdagangan untuk AS, termasuk pengurangan pajak untuk produk elektronik dan baja, menjelang negosiasi perdagangan dengan Washington.

Efek domino dari kebijakan ini tidak bisa dianggap remeh. Bahan-bahan seperti baja, semen, komponen mekanikal dan elektrikal, serta alat berat mengalami lonjakan harga dan keterlambatan distribusi.

Proyek-proyek konstruksi yang sebelumnya telah disusun dengan perhitungan matang kini dipaksa melakukan penyesuaian ulang, baik dari sisi waktu maupun biaya.

Potret Terkini Industri Konstruksi Indonesia: Proyeksi dan Tantangan 2025

Meski diterpa tekanan eksternal, industri konstruksi Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang masih positif dengan data proyeksi yang menggembirakan. Pasar konstruksi Indonesia diperkirakan mencapai USD305,48 miliar pada 2025 dan tumbuh dengan CAGR 7,5% untuk mencapai USD438,56 miliar pada 2030.

Industri konstruksi Indonesia diperkirakan akan berkembang 5,6% secara riil pada 2025, didukung oleh investasi sektor publik dan swasta dalam infrastruktur transportasi dan energi. Data ini menunjukkan ketahanan fundamental sektor konstruksi Indonesia meski menghadapi tekanan global.

Menurut laporan dari BCI Central, pada tahun 2024 nilai pasar konstruksi Indonesia tercatat sebesar Rp381,61 triliun. Dari jumlah tersebut, sektor bangunan mendominasi dengan porsi 59,69% atau sekitar Rp227,76 triliun. Sementara itu, sektor konstruksi sipil menyumbang 40,31% atau sekitar Rp 153,84 triliun.

Namun, di tahun 2025, pertumbuhan sektor sipil diprediksi justru mengalami penurunan sebesar 2,62%, menjadi hanya Rp123,4 triliun. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh penundaan atau pengurangan proyek infrastruktur akibat pemangkasan anggaran pemerintah.

Nilai tambah di sektor manufaktur Indonesia diproyeksikan mencapai US$203,6 miliar pada 2024, dengan output sebesar US$633,1 miliar dan output per perusahaan mencapai US$27,2 juta. Data ini menunjukkan potensi besar industri pendukung konstruksi dalam negeri.

Efisiensi Anggaran dan Efek Berantai

Salah satu kebijakan domestik paling berdampak terhadap sektor konstruksi pada 2025 adalah langkah efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintah. Dalam upaya mengendalikan defisit dan menstabilkan fiskal, pemerintah memangkas total belanja sebesar Rp306,69 triliun. Dari angka tersebut, Rp256,1 triliun berasal dari pengurangan belanja kementerian dan lembaga.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebagai lembaga sentral dalam pembangunan infrastruktur, mengalami pemangkasan anggaran paling signifikan.

Pemotongan anggaran ini bukan hanya berdampak pada jumlah proyek baru yang dapat dijalankan, tetapi juga berdampak terhadap pembelian alat berat, perawatan infrastruktur, dan pembiayaan program-program pemeliharaan rutin.

Efek dari pemangkasan ini menjalar hingga ke sektor ketenagakerjaan. Diperkirakan sekitar 2,5 juta pekerja konstruksi belum dapat kembali bekerja karena tertundanya pelaksanaan proyek-proyek.

Momentum Supply Chain Summit 2025 dan Transformasi Industri

Dalam konteks Indonesia, Supply Chain Summit 2025 yang direncanakan pada 21 Juni 2025 di Jakarta menjadi platform strategis untuk membahas transformasi rantai pasok konstruksi nasional.

Event ini diharapkan dapat menjadi katalis kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan akademisi dalam membangun ekosistem konstruksi yang lebih mandiri dan resilien.

Dalam lanskap yang penuh tekanan ini, pelaku industri konstruksi tidak bisa sekadar menunggu kebijakan pulih atau tarif impor turun. Sebaliknya, mereka harus bertransformasi.

Membangun resilient supply chain atau Rantai Pasok Tangguh menjadi keniscayaan. Rantai pasok yang kuat bukan hanya soal siapa yang menyediakan bahan, tetapi bagaimana keterhubungan antara pemasok, distributor, proyek, dan pembuat kebijakan terjalin dengan efisien dan adaptif.

Strategi Diversifikasi dan Teknologi

Diversifikasi pemasok menjadi strategi awal yang penting. Ketergantungan terhadap satu atau dua negara sumber bahan baku terbukti sangat rentan dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu, pelaku industri mulai menjajaki pasokan dari negara-negara Asia Selatan atau bahkan Afrika sebagai alternatif yang lebih terjangkau.

Di sisi lain, pemanfaatan teknologi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi ketahanan. Inovasi seperti penggunaan Widya Load Scanner, alat yang dapat mengukur volume material konstruksi secara digital dan akurat, kini mulai diadopsi untuk mengurangi pemborosan dan kesalahan dalam distribusi material.

Selain itu, sistem e-procurement yang lebih transparan dan terintegrasi memungkinkan proses pengadaan berjalan lebih cepat dan efisien, sekaligus menekan potensi korupsi.

Kolaborasi Strategis dan Capacity Building

Kolaborasi lintas sektor pun mulai digalakkan. Pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan komunitas teknisi lokal didorong untuk bekerja sama dalam membangun ekosistem konstruksi yang lebih berdaya saing.

Pelatihan tenaga kerja, sertifikasi produk lokal, serta peningkatan kemampuan manufaktur dalam negeri menjadi bagian dari langkah jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Data menunjukkan bahwa investasi dalam capacity building dan digitalisasi rantai pasok dapat meningkatkan efisiensi operasional hingga 15-20% sambil mengurangi risiko supply disruption sebesar 30%.

Harapan dan Jalan ke Depan: Visi 2030

Tahun 2025 memang membawa tantangan besar bagi industri konstruksi Indonesia. Namun, di balik tekanan dan keterbatasan, ada ruang besar untuk pembaruan. Ketika tarif impor tidak dapat dikendalikan, dan anggaran dibatasi, maka efisiensi, kolaborasi, dan inovasi menjadi satu-satunya jalan keluar.

Dengan proyeksi pertumbuhan pasar konstruksi mencapai USD 438,56 miliar pada 2030, Indonesia memiliki momentum untuk membangun industri konstruksi yang tidak hanya besar secara kuantitas, tetapi juga tangguh secara kualitas.

Meski tantangan tarif impor global membawa tekanan tersendiri, momentum ini sekaligus membuka peluang untuk mereformasi cara kerja industri konstruksi. Ketahanan rantai pasok bukan hanya alat bertahan, tetapi juga jembatan menuju transformasi industri yang lebih efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Dengan target pasar yang mencapai USD 438,56 miliar pada 2030, BUMN konstruksi khususnya, dapat memainkan peran katalis dalam transformasi rantai pasok nasional.

Rantai pasok yang tangguh bukanlah impian muluk, melainkan hasil dari keputusan-keputusan strategis yang dilakukan hari ini. Data menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan supply chain resilience strategy memiliki profitabilitas 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak.

Momentum Transformasi

Indonesia memiliki potensi besar, baik dari sisi sumber daya manusia maupun kekayaan alam. Yang dibutuhkan adalah komitmen, kolaborasi, dan visi jangka panjang. Dengan demikian, industri konstruksi tidak hanya bertahan di tengah tekanan global, tetapi mampu tumbuh menjadi motor pembangunan yang lebih kokoh, efisien, dan resilien.

Supply Chain Summit 2025 pada 21 Juni mendatang menjadi momentum strategis untuk membahas roadmap transformasi ini. Kolaborasi antara pemangku kepentingan, adopsi teknologi, dan komitmen pada sustainability akan menentukan apakah industri konstruksi Indonesia dapat menjadi leader regional dalam supply chain resilience.

Jika semua pemangku kepentingan bersedia membuka diri terhadap perubahan dan bekerja bersama, maka bukan tidak mungkin industri ini akan muncul dari krisis dengan wajah yang lebih kuat dan berdaya saing global.

Target pasar USD438,56 miliar pada 2030 bukan sekadar angka, tetapi visi konkret yang dapat dicapai melalui transformasi rantai pasok yang terstruktur dan berkelanjutan. (***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp