HSEINFO

Ir SUPANDI, MM: Mabuk Ikan Patin, K3, & Sampah Pikiran (1)

K3 bagi Supandi bukan jargon. Bukan pula pelajaran. K3 adalah sebuah gerakan, yang harus terus menerus dilakukan.

Konstruksi Media – Jangan menyodorkan ikan patin kepada Supandi. Apalagi pepes telurnya. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, yang kini menapaki usia 72 tahun ini akan menolaknya dengan halus.

Padahal ikan berkumis dari spesies catfish ini gurihnya bukan main dan menjadi menu yang amat dicari dan digemari masyarakat di Sumatera bagian Selatan dengan sajian Pindang Ikan Patin atau Patin Asam Padeh bagi masyarakat Sumatera Barat atau pula Patin Bakar bagi masyarakat Kalimantan Selatan. 

Supandi bukannya tak suka. Ia justru amat berhasrat setiap kali melihat ikan patin tersaji di meja. Toh, kandidat Doktor Ilmu Komunikasi di USahid Jakarta ini ternyata pernah punya pengalaman tersendiri dengan ikan patin, yang hingga sekarang sulit dilupakan dan membuatnya jadi anti ikan patin.

Ceritanya begini. Dulu, Supandi yang kini seluruh rambutnya sudah berwarna putih ini amat menggemari ikan patin, terutama telurnya. Telur ikan patin bagi Supandi, lezatnya tiada tara bak telur Caviar yang terkenal di Amerika dan Eropa. Sajiannya dipepes.

Kakek dua cucu ini bahkan punya cara mengolah dan resep sendiri dalam membuat pepes telur ikan patin sehingga tidak berbau amis dan rasanya lezat. Sebagai orang yang terlahir di bumi Sunda, Supandi cukup mahir mengolah aneka pepes makanan, utamanya pepes telur ikan patin.

Suatu hari ketika berdinas di kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Supandi mendapat kiriman telur ikan patin dalam jumlah cukup banyak. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengolahnya menjadi pepes. Hasratnya begitu menggebu ketika melihat telur ikan patin, sebab saat itu ia cukup lama tak melahap pepes telur ikan patin, yang menjadi penganan kesukaannya.

Baca Juga : Jelang Peluncuran Buku, Bapak K3 Indonesia Meninggal Dunia

Pepes telur ikan patin itu dilumatnya hingga tak bersisa sama sekali. Setelah itu Supandi merasakan kepalanya pusing. Ia pun tertidur. Tak dinyana, ia tertidur dua hari dua malam. Kala itu sang istri, almh, berada di Bandung. 

Begitu terbangun, kepalanya masih terasa pusing. Pepes telur ikan patin berakhir dengan berbaringnya Supandi di rumah sakit. Sejak itu, hingga sekarang ini, Supandi tidak mau makan ikan patin.

“Saya mabuk pepes telur ikan patin sampai tertidur dua hari dua malam,” kenang Supandi mengisahkan, Senin, (24/10/2022),

Soal mabuk makanan, selain telur ikan patin, Supandi yang mengaku tak ada pantangan soal makanan hingga usianya saat ini, juga pernah merasakan mabuk buah durian. Padahal dulu ia punya pohonnya sehingga bisa memetik kapanpun ia suka ketika sedang musim durian.

“Pernah mabuk, jadi sekarang gak suka durian,” katanya.

Dalam keseharian, Supandi sangat sensitif terhadap keadaan sekitar. Segenap panca indra seketika bergerak menyergap segala hal yang menuntun dirinya untuk berbuat sesuatu. Terkadang sensitifitas perasaannya disalurkan melalui pena dalam bentuk tulisan melankolis, seperti tercurah dalam puisi. Gara-gara melihat tukang patri di jalan, rupanya beliau terusik, dan jadilah puisi berikut.

Menunduk lesu, menapaki pinggir jalan yang padat, Entah sudah berapa ribu langkah telah kau berjalan, Berapa banyak yang kau dapat, Setelah sekian lama ku tak pernah melihat jangankan cucuku, anaku saja tidak mengenalnya, jasa apa yang dia perbuat, Tukang patri keliling desa, menjadi sahabat ibu rumah tangga, Memperbaiki alat dapur agar  bisa kembali berguna, Masihkah ada yang membutuhkannya? Seiring waktu dan jamannya, Betapa sulit menemukan penggunanya, Untuk mampu meraih kerja melalui karyanya. Sang Khalik pemberi rejeki, Semoga kau mendapatkan rejeki dengan modal yang kau miliki, Bandung, (27/03/2022).

Dalam puisi yang dikarangnya sendiri mencantumkan foto seorang pria paruh baya dengan membawa tas cokelat dan alat untuk mematri. (Tukang Patri Keliling) Bandung. Dok. Dokumentasi Ir Supandi.

Begitulah sepenggal puisi karya spontan Supandi tatkala melintasi sebuah jalan di kota Paris Van Java pada 27 Maret 2022. Pagi itu Supandi menuju Bandung untuk menemui sang cucu.

Di perjalanan, tanpa sengaja, ia melihat seorang lelaki tua tengah berjalan lunglai. Di pundak kanannya tergantung sebuah tas ransel lusuh. Tangan kanannya menggenggam erat sebuah alat las amat sederhana.

Pemandangan langka. Di zaman milenial, profesi tukang patri (las/welding) keliling seperti itu sudah sangat sulit dijumpai. Ia akan menyasar dari satu rumah ke rumah lain untuk menawarkan jasa pengelasan peralatan dapur yang bocor seperti panci, wajan, dan sebagainya.

Tetapi Supandi menemukannya di sebuah ruas jalan di kota Bandung. Ia segera meminta sang sopir untuk memperlambat laju kendaraannya. Jendela kaca tengah dibuka, dan Supandi memberikan sesuatu kepada lelaki tua tersebut.

Berbagi, sudah menjadi bagian keseharian Supandi, sejak ia mengenal dunia K3 pada 1972. Berbagi (sharing) merupakan esensi penyebarluasan pemahaman tentang K3 dalam upaya menciptakan budaya K3 di masyarakat.

K3 bagi Supandi bukan jargon. Bukan pula pelajaran. K3 adalah sebuah gerakan, yang harus terus menerus dilakukan dan diterapkan dalam keseharian, dalam setiap aktivitas yang dilakukan. (Hasanuddin/bersambung) …..

Baca Artikel Selanjutnya :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp