Kata YLKI Soal Larangan Ekspor Batu Bara Selama Satu Bulan Ke Depan
Konstruksi Media – Kebijakan larangan ekspor batu bara harus didukung demi pemenuhan kebutuhan nasional. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, kebijakan itu sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 tentang kepentingan dalam negeri.
“Kepentingan nasional harus di atas kepentingan ekspor, sekali pun lebih menguntungkan. Ekspor harus nomor sekian. Bagaimana mungkin kita banyak batu bara kemudian diekspor, tapi di dalam negeri malah mengalami kekurangan,” ujar Tulus dikutip pada Senin (3/1/2022).
- Tongkat Estafet Perusahaan Kawat Baja Nasional, Cecilia Vania Siap Bawa Bevananda Go Global
- Anugerah Innovillage 2024, Inovasi Sosial Digital Anak Bangsa yang Berdampak Nyata
- Tiga Dekade Bevananda: Estafet Kepemimpinan dan Langkah Menuju Indonesia Emas
Pemerintah melarang ekspor batu bara sepanjang periode 1 hingga 31 Januari 2021. Larangan ekspor batu bara tertuang dalam Surat Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Nomor B1605/MB.05/DJB.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.
Terbit 31 Desember 2021, poin-poin dalam surat itu melarang penjualan batu bara ke luar negeri secara umum dan menyeluruh setelah adanya laporan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perseroan melaporkan bahwa pasokan batu bara sangat rendah.
Menurut Tulus, pemerintah negara mana pun akan mengambil kebijakan yang sama untuk mengamankan pasokan energi demi kepentingan nasional.
Karena itu, dia mendorong pemerintah melakukan amandemen kebijakan ekspor batu bara secara berkesinambungan.
Pasalnya, kata Tulus, kondisi yang dialami Indonesia sangat ironis. Indonesia tercatat sebagai eksportir batu bara terbesar di dunia, namun cadangan produksi untuk kebutuhan di dalam negeri sangat kecil, yakni 2 persen dibandingkan dengan cadangan dunia.
Dia melihat semestinya larangan ekspor batu bara tak hanya diterapkan dalam waktu satu bulan. “Pemerintah sebaiknya merevisi kebijakan ekspor batu bara ke luar negeri, meski lebih menguntungkan dibandingkan untuk pemenuhan kebutuhan nasional,” ucapnya.
Tulus melanjutkan, kondisi tersebut serupa ketika Indonesia menikmati kejayaannya lantaran masuk jajaran negara pengekspor minyak mentah dunia terbesar.
Namun, situasi itu berbanding terbalik lantaran lama-lama, negara harus bergantung terhadap impor minyak untuk memenuhi kebutuhan. Hal yang sama, kata Tulus, mungkin saja terjadi untuk sektor batu bara.
“Sangat sadis kalau nanti kita malah jadi importir batu bara. Ongkos kemahalannya sangat luar biasa yang harus kita tanggung oleh masyarakat,” katanya.
Di sisi lain, dia menyoroti protes pengusaha terhadap larangan ekspor batu bara. Tulus menuturkan, seharusnya eksportir tidak perlu pusing negara akan rugi.
“Itu kan urusan pemerintah, urusan devisa negara itu urusan pemerintah. Sebenarnya yang merasa rugi itu negara atau pengusaha? Dalam hal ini (ekspor) kan pengusaha yang jauh diuntungkan,” pungkasnya.***