Arsitektur & DesignAsosiasiHeadlineNewsOPINIProfilVokasi

Siapa yang Mengajari Cara Membangun?

Profesi Insinyur pun mengarah kepada perancangan produk juga dengan penekanan pada etika, profesionalisme dan K3L

Oleh: Muhamad Abduh (Guru Besar Teknik Sipil FTSL ITB & Ketua Umum IAMKRI)

Konstruksi Media – Tahun 2019 lalu, saya (Muhamad Abduh) mengundang seorang visiting professor dari University of Melbourne, Australia. Tujuannya untuk bekerja sama dalam pendidikan dan penelitian di bidang Teknik Sipil dan Konstruksi. Beliau juga diminta mengajar beberapa topik selama 2 minggu di ITB.
Seperti biasanya kepada tamu, saya mengajak jalan-jalan melihat proyek konstruksi yang sedang berlangsung di sekitar, dan juga gedung-gedung di dalam kampus. Saya juga memperkenalkan bagaimana praktik konstruksi di Indonesia, seperti sertifikasi dan akreditasi, dan bahkan dengan bangga memperlihatkan hasil karya para rekayasawan dan kontraktor Indonesia.

Saya terhenyak ketika beliau berkomentar terhadap gedung yang saya banggakan sebagai karya kontraktor dalam negeri dan berada di dalam kampus: “This is NOT quality”, sambil menunjukkan beberapa komponen bangunan gedung. Namun, beberapa hari kemudian, komentar beliau berbeda ketika beliau dibawa ke suatu proyek konstruksi yang sedang berlangsung, dengan kontraktornya konsorsium asing dan Indonesia. Beliau berseloroh: “This is QUALITY.”

Kami berdiskusi terkait kedua komentar yang berbeda tersebut cukup lama, ke mana-mana, hingga masuk ke ranah pendidikan. Saya sampaikan Program Studi Sarjana Teknik Sipil itu menghasilkan perancang, desainer, atau bertugas untuk desain produk konstruksi. Adapun desain proses konstruksi dan produksi sedikit sekali diajarkan. Program Studi Pendidikan Profesi Insinyur pun mengarah kepada perancangan produk juga dengan penekanan pada etika, profesionalisme dan K3L. Demikian juga di tingkat Pascasarjana, bidang Manajemen dan Rekayasa Konstruksi lebih diarahkan kepada knowledge, akademik untuk mendukung penelitian dan pengelolaan proyek ataupun perusahaan.

Setelah mengetahui situasi pendidikan di Indonesia tersebut, visiting professor tersebut bertanya: “So, who is teaching how to build, then?” Dan saya pun tertegun, terdiam, tidak bisa menjawab. Saya tidak punya keyakinan tinggi untuk mengklaim bahwa program pendidikan sarjana teknik sipil yang saat ini sudah menghasilkan SDM konstruksi yang punya kompetensi untuk membangun secara berkualitas, untuk merancang sistem produksi di proyek konstruksi, bisa merancangnya secara terintegrasi dengan rantai pasok konstruksinya, bisa memastikan kualitas yang diminta diantarkan secara efektif dam efisien.

Beliau menegaskan kembali bahwa hasil pengamatannya terkait QUALITY produk yang dilihatnya beberapa waktu yang lalu ada kaitannya dengan pendidikan SDM yang ada di Indonesia terkait konstruksi, yang merupakan akumulasi model pendidikan terkait manajemen konstruksi. Hal ini pernah menjadi kegundahan dunia pendidikan teknik sipil, ketika beberapa kali terjadi kecelakaan konstruksi di proyek jalan tol oleh kontraktor besar Indonesia, yang menunjukkan dampak dari pendidikan terkait konstruksi yang terakumulasi bertahun-tahun. Bahkan diskusi juga mempertanyakan apakah semua metode dan teknologi canggih (BIM, Lean, Agile, Green dll.) yang tersedia saat ini tersedia bisa berkontribusi secara efektif kepada kualitas produk konstruksi di Indonesia, jika SDM konstruksinya tidak siap; yang sangat terkait dengan sistem pendidikan.

Saya jadi teringat akan model double diamond, yang diperkenalkan oleh the British Design Council pada tahun 2005, di mana integrasi antara tahap desain dan eksekusi harus terjadi dan dilakukan melalui cara berpikir yang divergen dan konvergen, serta dilakukan dengan kolaboratif, sehingga dapat menghasilkan desain produk yang terbaik. Pada tahap desain, saat ini, sudah banyak dilakukan dengan pendekatan set-based design, tidak lagi point-based design, di mana alternatif solusi dieksplorasi dan tidak banyak terjadi pemborosan (waste). Apa yang diajarkan di kuliah sarjana teknik sipil dan juga praktiknya masih sangat point-based design, dengan banyak iterasi yang mengharuskan kerja ulang (rework), dan juga dilakukan secara silo-silo, minim integrasi antar disiplin yang terlibat. Demikian pula pada tahap eksekusi, dalam pembangunannya. Pengembangan alternatif metode pelaksanaan dan solusi terhadap kendala yang ada di lapangan berkaitan dengan sumber daya dan rantai pasoknya tetap harus dilakukan, berdasarkan model dobule diamond ini, sehingga membutuhkan SDM konstruksi yang bukan hanya pelaksana, tetapi juga memiliki kompetensi sebagai rekayasawan dan manajer, yang dihadapkan pada permasalahan kompleks dan multi disiplin di lapangan. Rasanya memang apa yang diajarkan di bangku kuliah masih cukup memberikan bekal kompetensi yang dibutuhkan ini.

Muhamad Abduh
Sumber: The British Design Council, 2005

Jika mengacu kepada model Project Production Management (PPM), dari Project Production Institute tahun 2016, yang sangat mengedepankan penggunaan teori sains operasi, penerapan konstruksi ramping (lean construction), dan penggunaan teknologi konstruksi cerdas, maka integrasi antara desain dan eksekusi ini suatu keharusan. Untuk itu SDM konstruksi harus memiliki kemampuan berpikir atau melihat konstruksi sebagai sebuah sistem produksi yang terintegrasi. Selain itu, pendekatan manajemen proyek – ilmu yang banyak diajarkan saat ini – masih terbatas pada aspek-aspek yang tidak terkait langsung dengan kapasitas produksi di lapangan. Untuk itu SDM konstruksi membutuhkan keilmuan yang disebut manajemen produksi, di mana dibutuhkan pandangan yang bukan saja sistemik terintegrasi, tetapi juga harus masuk ke detail untuk masing-masing aspeknya.

Muhamad Abduh
Sumber: The Project Production Institute, 2016

Mengingat kami di ITB adalah yang awal-awal memperkenalkan pendidikan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi di Indonesia – pada tahun 1980 di tingkat sarjana dalam bentuk sub jurusan dan pada tahun 1990 dalam bentuk program Pascasarjana – yang juga banyak dijadikan model atau acuan secara nasional, nampaknya sudah waktunya, saat ini, untuk kami mulai melakukan pemikiran ulang pendidikan formal terkait manajemen konstruksi untuk masa depan konstruksi Indonesia yang lebih baik. Dan ini selayaknya tidak hanya melingkupi program sarjana dan pascasarjana semata, tetapi juga program vokasi, dan pada berbagai disiplin, setidaknya meliputi bidang teknik sipil, arsitektur, teknik mesin, teknik elektro, dan teknik industri.

Ya, kita perlu mulai Rethinking the Construction Engineering & Management Education in Indonesia.(***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp