News

Wujudkan Indonesia Sebagai Negara Berbasis Kemaritiman

Bukan tidak mungkin, pesan Ir. Seokarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut pada tahun 1953 dapat menjadi kenyataan.

Konstruksi Media – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan dengan berbagai potensi kemaritiman akan menjadi salah satu solusi kunci dalam berbagai permasalahan global di masa depan. Sehingga tak ayal untuk menjadi Negara Poros Maritim Dunia akan terwujud.

Hal tersebut dikatakan oleh Orasi Budaya perhelatan International Sea Port Exhibition and Conference (ISPEC), di Grand Mercure Kemayoran Jakarta.

Dia menyebut, di tataran global, dinamika pergeseran pusat perhatian dan kegiatan dunia semakin bergeser ke arah timur. Sebagaimana telah diramalkan oleh Naisbitt dan Aberdene dalam Megatrend 2000, pusat perkembangan dunia yang dulunya berada di Mediteranian dan Atlantik, kini telah beralih ke Indo-Pasifik.

“Untuk itu, sejumlah negara telah menyiapkan dan melaksanakan strategi menghadapi pergeseran ini, baik secara bilateral maupun multilateral,” ungkap Sri Sultan sebagaimana diberitakan, Kamis, (22/9/2022).

Menurutnya, negara-negara di sekitar Samudra Hindia telah tergabung dalam Indian Ocean Rim Association. Seperti Tiongkok telah menginisiasi strategi “Belt and Road”, sedangkan Jepang meluncurkan strategi “Free and Open Indo-Pacific”. Sementara itu, Amerika memiliki program “Indo-Pacific Strategy”, dan pada saat yang sama Amerika – Jepang – India – Australia bersama-sama membentuk QUAD yang kini meluas dengan bergabungnya sejumlah negara Eropa.

Dia mengatakan, pergeseran ini pada akhirnya menempatkan Kepulauan Indonesia kembali menjadi persilangan strategis, sebagaimana zaman kejayaan bahari Nusantara beberapa abad silam. Indonesia sendiri, telah berusaha menempatkan diri sebagai Poros Maritim Dunia.

Sehingga menjadi relevan pula, apabila beberapa isu terkini terkait Samudera Hindia menjadi perbincangan aktual oleh negara-negara IORA (The Indian Ocean Rim Association). Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Mathew dan Ghiasy bahwa Indonesia patut menaruh perhatian, gayut dengan dengan posisi Indonesia yang memangku Samudera Hindia, yaitu Blue Economy, Collaboration and Global Governance, dan The Maritim Silk Road.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam perhelatan ISPEC 2022. Dok. Ist Komed

“Terkhusus eksistensi Jalur Sutera Maritim, pada masa selama perang dingin, memang Samudera Hindia tidak pernah menjadi daya tarik kepentingan ekonomi dan politik bagi negara-negara tertentu, terutama Amerika, Jepang, Cina, dan negara-negara Eropa. Namun, konstelasi mulai berubah pada awal tahun 2000-an, ketika konflik perairan China Selatan mengemuka, dan Samudera Hindia muncul ke permukaan sebagai wilayah ekonomi dan politik yang sangat penting (Singh, 2022). Maka tidaklah berlebihan, ketika Kaplan (2009) menyatakan bahwa Samudera Hindia merupakan pusat panggung permainan kekuasaan dari negara-negara adidaya pada abad ke duapuluh satu (centre-stage for power plays),” tuturnya.

Dia melanjutkan, berdasarkan berbagai fenomena tersebut, tak berlebihan kiranya apabila kita memang harus menggali, mengkaji serta merevitalisasi Semangat Nusantara. Mengeja Nusantara, paling tidak harus berangkat dari pengertian terhadap kosakatanya terlebih dulu, yang berakar kata “nusa” artinya pulau atau kesatuan kepulauan, dan “antara” yang menunjukkan letak antara dua unsur.

Baca Juga : Indonesia Sea Port Exhibition Conference, Sri Sultan HB X akan Sampaikan Orasi Ilmiah

Sehingga jika dipadukan, maka makna Nusantara adalah: “Kesatuan Kepulauan yang terletak antara 2 Benua dan 2 Samudera”, yang tidak lain adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dengan letak geografis seperti itu, maka penghuni yang berada di dalam Nusantara itu konsekuensinya harus memiliki Wawasan Nusantara, sekaligus Wawasan Bahari, atau lebih tepatnya Wawasan Nusantara Bahari,” ungkap dia.

Dalam upaya Revitalisasi Semangat Nusantara ini, ungkapnya, maka konsekuensi lanjutannya adalah bangsa Indonesia harus memiliki pemahaman tentang Geopolitik dan Geostrategis, dan dimaksudkan untuk menggugah wawasan dalam usaha mengeksplorasi jatidiri bangsa, diderivasikan dari Wawasan Nusantara, diaktualisasikan dalam konsep Bhinneka Tunggal-Ika, dan ditempatkan dalam konteks percaturan global dan pergeseran geopolitik internasional.

Di mana faktor geopolitik amat ditentukan oleh perkembangan sistem informasi dan teknologi informasi serta transaksi finansial internasional.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam perhelatan ISPEC 2022. Dok. Ist Komed

Aktualisasi Bhineka Tunggal Ika

Kembali, dia mengungkapkan, memang, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk. Masalahnya adalah bagaimana mengaktualisasikan simbol Bhinneka Tunggal Ika yang biarpun berbeda, namun tetap satu itu ke dalam konteks yang benar?

“Lantas, bagaimana pula, agar kita bisa mengubah potential forces menjadi actual forces kekuatan nyata yang mampu menjawab tantangan globalisasi?,” jelas dia.

Di tengah upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, teriring kewajiban nasional untuk memperkuat integrasi bangsa, melalui strategi nasional aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Artinya, sekalipun satu, tidak boleh dilupakan bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu kemajemukan,” ucap Sri Sultan.

Menurutnya, pengalaman mengajarkan, bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal-ika), yang paling potensial untuk bisa melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya keberagaman (bhinneka), dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan bangsa Indonesia.

“Kenyataan kemajemukan ini, seringkali diabaikan dalam wacana politik elite negeri ini. Sekalipun diakui, bahwa Indonesia adalah masyarakat yang bhineka, atau berbeda-beda. Tetapi siapa pun kita, harus selalu diingat- ingatkan bahwa sesungguhnya kita ini satu (tunggal ika), yang harus dijadikan faktor perekat integrasi bangsa,” urainya.

Guna memenuhi tantangan tersebut, tentu menjadi relevan, apabila kita melakukan flashback atas upaya peneguhan Wawasan Nusantara Bahari yang telah dilontarkan dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957, yang didesain sebagai simbol pemersatu bangsa, meski nasib dari konsep itu belum mengalami kemajuan yang berarti.

Bukan itu saja, nilai ekonomis, strategis, bahkan yang simbolis pun, dari batas wilayah laut belum pernah dikembangkan secara sungguh-sungguh.

Padahal, diplomasi maritim dan diplomasi ekonomi adalah bagian penting dari kebijakan luar negeri Indonesia (Djalal, 1996) yang amat strategis jika diperankan dalam pergeseran konstelasi geopolitik internasional masa kini.

Baca Juga : ISPEC Gelar Maritime Award 2022, Presiden Jokowi Akan Terima Penghargaan Poros Maritim dan Tol Laut

Wawasan Nusantara Bahari telah menjadi isu politik penting, terutama dalam ide pembentukan poros lajur laut (axis sea-lanes) bagi pelayaran internasional melalui perairan Indonesia.

Mengapa diplomasi maritim dinilai tinggi? Alasan utama adalah manfaat wilayah maritim terhadap pembangunan ekonomi. Sejak tahun 1960-an, tidak mungkin bagi Pemerintah untuk mengabaikan wilayah maritim, sewaktu minyak bumi memompa uang ke dalam ekonomi Indonesia, dan sewaktu makin banyak cadangan minyak bumi ditemukan di dasar laut. Tahun 1970-an merupakan dekade boom minyak bumi, di mana sekitar 60 persen kegiatan eksplorasi dilakukan di perairan Nusantara.

Alasan lain, bagi diperbaharuinya kepentingan geopolitik dalam Wawasan Nusantara, yang juga tidak dapat dilepaskan dari nilai simbolis wilayah maritim. Dalam politik Indonesia juga dikenal simbolisme wilayah, misalnya ide tentang Indonesia, awalnya dikenal dengan integrasi seluruh komunitas dan pulau-pulau dalam wilayah bekas Hindia Belanda dari Sabang hingga Merauke.

Sekarang ini, ide itu harus dipertajam menjadi bukan hanya komunitas dan pulau-pulau, melainkan juga mencakup integrasi daratan dan maritimnya.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menerima penghargaan Maritim dalam ISPEC 2022. Dok. Ist Komed

Hakikat Geopolitik dan Geostrategis

Sri Sultan mengungkapkan, hakikat geopolitik dan geostrategis Indonesia sebagai negara kepulauan perlu benar-benar dipahami, agar NKRI tidak mudah diintervensi dan diinfiltrasi oleh kekuatan tertentu, baik dari dalam maupun luar.

“Sejarah menunjukkan, upaya memupuk kesatuan dan mengembalikan kebesaran bangsa mengalami kesulitan, justru karena bangsa Indonesia kurang memahami hakikat geopolitik dan geostrategis kelautan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, NKRI, dalam perjuangan yang memakan waktu lama sejak dicetuskannya Deklarasi Juanda tahun 1957, telah berupaya mengubah fungsi laut Indonesia yang semula menjadi alat pemisah dan pemecah-belah persatuan bangsa, menjadi alat pemersatu bangsa.

“Arti penting geopolitik dan geostrategis ini, hendaknya juga dapat dijadikan faktor pengontrol lalu-lintas perdagangan dari Timur ke Barat menuju Laut Cina Selatan dan ke Samudera Pasifik dan sebaliknya, yang melewati perairan laut Indonesia. Dengan dunia yang semakin mengglobal ini, maka posisi Indonesia juga semakin strategis. Ekspor dan impor dari negara Barat ke Timur dan sebaliknya akan semakin ramai melintasi ALKI Indonesia,” kata dia.

Ini menjadi wajar kiranya, apabila Indonesia sebagai pemimpin negara non-blok, perlu mengadakan perubahan pendekatan seiring dengan perkembangan geopolitik dan pasar bebas dalam hubungan internasional. Interdependensi antar negara dan sekaligus kerjasama sinergis antar negara, sangat menentukan tingkat kompetisi antar negara maupun antar benua.

Jelas kiranya, semangat dan keterampilan bahari yang pernah menjadi kebanggaan bangsa Indonesia perlu digali dan dikembangkan kembali di kalangan generasi muda, agar bangsa Indonesia mampu menjadi tuan di negeri mereka sendiri.

“Diilhami oleh Semangat Bahari itu, upaya membangun Indonesia Baru yang lebih maju, mandiri dan bermartabat, memerlukan strategi budaya yang menyiapkan generasi muda Indonesia yang sanggup mengambil tanggung- jawab masa depan, berkeyakinan diri, dan memiliki wawasan kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang memadai,” bebernya.

Hal ini selaras dengan apa yang dipaparkan Presiden Joko Widodo tentang visi kelautan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Asia Timur (KTT EAS) di Myanmar, 13 November 2014.

“Untuk mewujudkan konsep Poros Maritim Dunia itu, diperlukan empat kekuatan yang mendorong kejayaan sebuah peradaban maritim. Pertama, Ocean Leadership dan Ocean Policy yang dapat menjaga kedaulatan bangsa dengan terwujudnya visi maritim yang hebat, didukung kemampuan diplomasi yang tangguh,” imbuhnya.

Kedua, bangsa yang memiliki kesadaran budaya kelautan, karena budaya darat seakan memarjinalkan kesadaran terhadap luas lautan dengan segala isinya.

Ketiga, kekuatan infrastruktur dan perhubungan yang menghubungkan antar pulau dengan mudah dan murah. Singapura justru lebih mengambil keuntungan ekonomi dari persinggahan kapal asing.

Keempat, kekuatan potensi sumber daya lautan yang membentang luas dan daratan yang subur. Poros maritim harus didukung oleh sektor pertanian yang tangguh sebagai tulang punggung sektor maritim yang andal.

“Ada sejumlah deep seaport yang dikembangkan sebagai pintu ekspor- impor, seperti yang dibangun dengan konsep Pendulum Nusantara di Medan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. Kota-kota tersebut dilengkapi kawasan pergudangan, bongkar-muat dan distribusi domestik modem berbasis IT Management-single gateway,” jelas dia.

Di darat, infrastruktur Tol Laut ini diintegrasikan dengan moda transportasi massal, seperti double track railway dan sea highway untuk distribusi logistik ke wilayah pedalaman maupun antar wilayah yang berdekatan dan akses ke bandara untuk kombinasi angkutan lintas udara, khususnya jenis perintis. Prioritas pembangunan jalur mengikuti dinamika pertumbuhan potensi dan komoditas unggulan setempat.

“Dengan adanya pilar dan konsep Poros Maritim Dunia tersebut, maka Prioritas Pembangunan Maritim memang harus diwujudkan, sebagai garda peradaban Indonesia masa depan, yang menjamin kehidupan ekonomi, sosial dan politik, serta marwah Indonesia di percaturan politik global,” tuturnya.

“Jika kita berkehendak menggeser orientasi pembangunan menuju skala dunia, maka tidak lain kita harus mulai memperkuat basis pendidikan bidang kelautan. Oleh sebab itu, pendidikan Indonesia setidaknya harus berorientasikan pada tatanan Benua Maritim Indonesia. Selain itu, perlu bagi kita untuk memperkuat fungsi pengawasan. Dengan berbagai potensi yang melingkupinya, kemaritiman akan menjadi salah satu solusi kunci dalam berbagai permasalahan global di masa depan,” sambungnya kembali.

“Bagaimanapun, sejatinya, Revitalisasi Semangat Nusantara itu tidak lain adalah Wawasan Nusantara Bahari yang tampaknya perlu dibangkitkan kembali, guna mempercepat kebangkitan Indonesia melalui gagasan Poros Maritim Dunia. Dengan begitu, bukan tidak mungkin, pesan  Ir. Seokarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut pada tahun 1953 dapat menjadi kenyataan,” tandas Sri Sultan.

Baca Artikel Selanjutnya :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp