Konstruksi Media – Bencana gempa bumi yang pernah melanda Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan magnitudo (M)6,9 yang mengakibatkan 137.658 rumah rusak dan jatuhnya 526 korban jiwa menjadi pembelajaran bersama bagaimana menghadapi bencana, terutama pasca kejadian.
“Gempa tiga tahun lalu di NTB tersebut telah memberikan banyak pembelajaran. Mulai dari penanganan darurat bencana, proses pemulihan hingga membangun kesadaran dan resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhar, Kamis (5/8/2021).
- Lewat Seminar Internasional PII, Insanul Kamil: Perkuat Daya Saing Bangsa
- LRT Jabodebek Uji Coba Aturan Bawa Sepeda Standar
- Jababeka Bangun Rumah Sakit Pendidikan Standar Internasional
Menurut Abdul, Resiliensi pada fase pra maupun pasca bencana dapat dibangun dengan strategi pengurangan risiko bencana, salah satunya upaya mitigasi.
Dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
“Kegiatan mitigasi ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, seperti pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, serta pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Pendekatan ini biasa dikelompokkan menjadi mitigasi struktural dan nonstruktural,” jelasnya.
Abdul menyampaikan bahwa pada proses pemulihan pasca gempa, pemerintah selalu menekankan prinsip build back better and safer, khususnya dalam pembangunan kembali rumah warga yang rusak.
Kemudian, lanjut Abdul, masyarakat memanfaatkan beragam teknologi rumah tahan gempa yang ditawarkan, seperti rumah instan sederhana sehat (risha), rumah instan kayu (rika) dan rumah unggul sistem panel instan (ruspin).
Lebih lanjut Abdul menyontohkan pada penanganan usai gempa bumi di NTB. Dia menuturkan, hingga saat ini pembangunan kembali rumah rusak bagi warga NTB masih terus dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Data BNPB per 9 Juli 2021 mencatat total rumah selesai sejumlah 211.820 unit dan rumah dalam proses pengerjaan sejumlah 14.610 unit. Jumlah rumah rusak tersebut merupakan total kerusakan yang dipicu oleh gempak sejak 29 Juli 2018 hingga 19 Agustus 2018,” ungkapnya.
Abdul menjelaskan, pembangunan rumah dengan struktur tahan gempa sangat dibutuhkan oleh masyarakat NTB. Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi alam NTB yang memiliki potensi bahaya gempa bumi.
Abdul mengatakan, dalam catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dosebutkan bahwa Pulau Lombok merupakan kawasan seismik aktif. Ada dua pembangkit gempa dari sisi selatan, yaitu zona subduksi lempeng Indo-Australia dan sisi utara, struktur geologi sesar naik Flores.
“Kondisi yang sudah ’given’ ini perlu disikapi masyarakat setempat dengan saksama. Masyarakat telah belajar, kekuatan gempa dapat memberikan katastrofe di wilayahnya. Dampak besar tersebut tidak hanya pada jumlah kerusakan bangunan gedung atau pun rumah warga, tetapi juga banyaknya korban jiwa yang disebabkan reruntuhan bangunan tidak tahan gempa,” katanya.
“BNPB mencatat total jumlah korban meninggal mencapai 564 jiwa, luka-luka 1.883 dan mengungsi lebih dari 390 ribu jiwa pada serangkaian gempa NTB waktu itu,” tambahnya.
Selain mitigasi struktural tadi, kata Abdul, upaya nonstruktural perlu menjadi perhatian masyarakat hingga tingkat keluarga. Semakin besar kapasitas yang dimiliki oleh individu atau anggota keluarga, risiko yang dihadapi akan semakin kecil, atau bahkan dapat dihindari.
Meskipun masyarakat telah tinggal di rumah tahan gempa, kesiapsiagaan menghadapi gempa tetap dibutuhkan. Gempa dapat terjadi kapan pun dan dimana pun. Situasi seperti ini yang perlu direspons dengan baik oleh setiap anggota keluarga.
“Dalam lingkup kecil, komunitas dapat melakukan kajian risiko secara mandiri maupun dengan pendampingan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. Setiap keluarga memiliki tingkat risiko yang berbeda meskipun mereka berada di suatu kawasan yang sama,” paparnya.
“Keluarga dapat memanfaatkan aplikasi inaRISK untuk melihat potensi bahaya gempa dan penilaian cepat sederhana untuk mengetahui ketahanan bangunan melalui fitur ACeBS (asesmen cepat bangunan sederhana) pada aplikasi tersebut,” sambungnya.
Sementara itu, kata Abdul, beberapa faktor dapat mempengaruhi tingkat risiko di dalam keluarga. Misalnya tingkat pengetahuan cara evakuasi, identifikasi titik aman di dalam rumah, anggota keluarga yang disabilitas atau kurangnya latihan menghadapi gempa.
“Fenomena gempa adalah suatu keniscayaan sehingga literasi maupun edukasi kebencanaan diharapkan tumbuh dalam setiap keluarga dari generasi ke generasi berikutnya,” pungkasnya.***