
Konstruksi Media — Dalam PADSK–SCLI International Conference 2025 yang berlangsung di Manhattan Hotel, Kamis-Jumat (7-8 Agustus 2025), Chiyo Haoka, Director Loan Procurement Policy and Supervision dari Japan International Cooperation Agency (JICA), menekankan pentingnya pembentukan dispute board sejak awal proyek untuk mencegah terjadinya sengketa konstruksi yang berlarut-larut.
Dalam keterangannya sebagai pembicara konferensi, Chiyo Haoka menyampaikan bahwa topik utama yang diangkat JICA kali ini adalah “Collaborative Action of The Stakeholders to Avoid Dispute”, atau pencegahan sengketa dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.
“Dalam proyek infrastruktur, isu sengketa sering kali muncul terkait keterlambatan waktu pelaksanaan maupun permintaan biaya tambahan,” ujar Haoka.
Menurutnya, penyelesaian sengketa konstruksi idealnya tidak langsung masuk ke ranah litigasi, tetapi dimulai dari proses internal yang disebut engineer’s determination. Jika sengketa tidak terselesaikan, maka dilanjutkan ke dispute board atau Dispute Adjudication Board (DAB). Apabila masih belum selesai, barulah masalah dapat dibawa ke arbitrase.

“Tujuan utamanya adalah menghindari eskalasi sengketa menjadi konflik hukum. Dispute board membantu menyelesaikan secara cepat dan efisien sebelum menjadi persoalan hukum yang kompleks,” jelasnya.
Chiyo Haoka juga menjelaskan bahwa JICA mewajibkan kehadiran dispute board sejak awal proyek, termasuk dalam dokumen tender dan kontrak. Badan penyelenggara proyek di negara mitra diminta untuk menyepakati kehadiran lembaga ini sebagai bagian dari sistem pencegahan sengketa.
Baca juga: Konferensi Internasional PADSK–SCLI 2025: Menuju Proyek Konstruksi Bebas Sengketa
“Kami memeriksa kontrak dari awal. JICA memberikan persetujuan hanya setelah memastikan seluruh klausul termasuk pembentukan dispute board telah dimasukkan,” kata Haoka.
Dispute board bertugas sejak proyek dimulai, memeriksa dokumen, memberikan rekomendasi, dan memastikan tidak ada kontrak yang berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini dilakukan secara berkelanjutan hingga proyek selesai.
Terkait keterlibatan JICA di Indonesia, Haoka memperkirakan saat ini terdapat sekitar 30 proyek yang didanai melalui skema JICA Loan. Selain itu, JICA juga mengelola proyek melalui grant (hibah) dan technical assistance (bantuan teknis), yang menjadikan total keterlibatan JICA lebih luas.

“Proyek MRT Jakarta menjadi salah satu contoh proyek terbesar yang didukung JICA di Indonesia melalui pembiayaan pinjaman,” ungkapnya.
Sebagai lembaga pendanaan pembangunan milik pemerintah Jepang, JICA memiliki fungsi ganda: sebagai penyedia pinjaman lunak (loan), hibah (grant), dan juga pendampingan teknis. Model pembiayaan ini mirip dengan lembaga seperti World Bank dan Asian Development Bank (ADB), namun dengan hubungan bilateral yang lebih fokus pada kepentingan strategis antara Jepang dan negara mitra, termasuk Indonesia.
“Tiap proyek disusun berdasarkan kebutuhan negara mitra dan disepakati bersama antara pemerintah Jepang dan pemerintah negara tersebut,” jelas Haoka. (***)