
Konstruksi Media – Api yang melalap sisi barat Gedung Negara Grahadi dan Polsek Tegalsari, Sabtu (30/8/2025) malam, meninggalkan duka mendalam. Grahadi, yang berdiri sejak 1794, bukan sekadar rumah dinas Gubernur Jawa Timur, melainkan cagar budaya bernilai sejarah tinggi.
Nanang Purwono, pemerhati budaya dan sejarah, menyebut insiden ini mencerminkan amarah massa yang tak terkendali. “Gedung lama yang menjadi gugusan utama Grahadi ikut jadi korban. Target mereka fasilitas pemerintah dan kepolisian, tapi bangunan cagar budaya juga terbakar. Korbannya artefak-artefak bersejarah,” ujarnya.
Menurut Nanang, melindungi cagar budaya dalam situasi genting hampir mustahil. “Markas polisi saja diterjang. Kekuatan massa terlalu sulit dilawan. Hanya kesadaran mereka yang bisa menghentikan,” katanya.
Ia juga mengingatkan potensi ancaman terhadap rumah ibadah dan museum yang menyimpan artefak penting. Nanang menilai regulasi perlindungan cagar budaya belum cukup kuat menghadapi gelombang massa.
Baca juga: Ahli Kimia Sugiarto Goenawan: Penggunaan Material Tepat Kunci Keberlanjutan Cagar Budaya
“Aturan ada, tapi kalau massa besar, sulit ditegakkan. Restorasi pun tak sekadar teknis, tapi juga butuh biaya besar,” imbuhnya.
Kebakaran Grahadi terjadi sekitar pukul 21.30 WIB, tak lama setelah Gubernur Khofifah Indar Parawansa menemui massa. Api membakar ruang kerja Wakil Gubernur, termasuk biro rumah tangga, biro umum, hingga press room. Sejumlah barang dijarah, mulai dari karpet, meja, printer, hingga laptop.
Gelombang amarah kemudian berlanjut ke Polsek Tegalsari, yang tak luput dari serangan dan ikut hancur terbakar. (***)