News

ITB Kembangkan One Village One Product di Indonesia

Konstruksi Media – Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, Deny Willy Junaidy, Ph.D., mengatakan kegiatan pengabdian masyarakat harus berfokus pada upaya pengembangan potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Usaha yang dinamakan One Village One Product (OVOP) ini telah diakui dan banyak dikembangkan oleh beberapa negara di dunia.

“One Village One Product (OVOP) ini sebenarnya merupakan konsep pengembangan desa yang diinisiasi oleh seorang Gubernur di Kota Oita, Jepang bernama Morihiko Hiramatsu. Saat itu, sang gubernur kota ini mampu mengubah kondisi Provinsi Oita yang sebelumnya ditetapkan sebagai wilayah provinsi paling miskin menjadi daerah provinsi percontohan di Jepang,” ucap Deny dalam Kuliah Umum Studium Generale ITB, Rabu, 19 Januari 2022.

Istilah OVOP mulai dikenalkan Hiramatsu saat Provinsi Oita terancam mati akibat peristiwa eksodus besar-besaran yang dilakukan penduduknya pada 1979.

Upaya ini diawali dengan keputusan Hiramatsu untuk mengundang para champion masing-masing desa ke dalam suatu pertemuan. Dalam rapat tersebut, ia mendapatkan informasi bahwa setiap daerah di Provinsi Oita memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan.

Akibatnya, Hiramatsu pun memutuskan untuk melakukan dukungan dan pelatihan kepada para champion tersebut untuk mulai melakukan berbagai usaha meningkatkan kondisi perekonomiannya.

Selang beberapa tahun, usaha Hiramatsu membuahkan hasil dan Provinsi Oita tak ditetapkan sebagai kategori daerah termiskin di Jepang.

Salah satu buktinya saat berhasil mengembangkan banyak desa untuk berkreasi sesuai potensi, seperti Yuzu dan Taketa Village yang memanfaatkan pertanian jeruk limun sebagai pusat perekonomian mereka.

“Saat eksodus di Oita itu terjadi, Gubernur Hiramatsu tidak langsung mengundang investor. Namun, yang ia lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan para champion dan kemudian melakukan dukungan kepercayaan diri kepada mereka agar mampu memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing,” ucap Deny.

Baca juga:

Berdasarkan fenomena ini, Deny mengatakan prinsip OVOP bisa diterapkan dengan baik di Indonesia. Menurut dia, setiap daerah pasti memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing.

Oleh karena itu, kata dia, sebagai salah satu perguruan tinggi yang selalu berperan aktif dalam upaya pengembangan daerah-daerah terpencil di Indonesia, ITB telah menerapkan konsep OVOP.

Dari sekitar 270 program pengabdian masyarakat yang dilakukan setiap tahunnya, ITB selalu memastikan kegiatan tersebut selalu berfokus kepada potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah binaannya.

Deny mengatakan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB selalu mendesain program pengabdian masyarakat dengan berfokus pada potensi daerah binaan dengan 4 kategori, yaitu (1) pemberdayaan desa, (2) pemulihan ekonomi, (3) mitigasi dan adaptasi bencana, serta (4) industri kreatif dan pariwisata. Dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam pola lima lingkar bagian, ia yakin mampu mendeteksi daerah-daerah mana saja yang memang membutuhkan kegiatan pengabdian masyarakat ini.

“Kami membagi wilayah pengabdian masyarakat ini ke dalam lima lingkar, yaitu: wilayah di sekitar lingkungan kampus ITB, Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa, Daerah yang berlokasi di luar pulau Jawa, dan wilayah perbatasan serta wilayah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terjauh). Harapannya pembagian pola lima lingkar ini akan memberikan persebaran yang merata dalam kegiatan pengabdiannya nanti,” ucapnya.

Di akhir sesi pemaparannya, Deny mengatakan, beberapa contoh bentuk pengabdian masyarakat ITB yang berhasil mengubah kondisi suatu desa di wilayah perbatasan. Salah satunya adalah dengan didirikannya SMK di Provinsi Kalimantan Utara yang berhasil mengubah pendidikan anak-anak remaja disana.

“Kondisi semacam ini dapat juga diberikan di wilayah lain sehingga segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah tersebut dapat teratasi,” kata dia.

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp