
Yuwono Imanto: Hukum adalah Pilar Kemajuan dan Kepastian Proyek Konstruksi Nasional
Kontrak konstruksi sebagai alat hukum yang mengikat dan menjadi dasar hubungan kerja sama antar pihak dalam proyek.
Konstruksi Media – Direktur PT Propan Raya, Dr. Ir. Yuwono Imanto, M.M., M.B.A., M.Ars., menegaskan bahwa hukum merupakan fondasi utama dalam dunia konstruksi yang kompleks, dinamis, dan penuh potensi sengketa. Hal tersebut disampaikannya dalam Workshop Kolaborasi Pengabdian Masyarakat: Hukum Konstruksi dan Manajemen Kontrak Konstruksi yang diselenggarakan di Pendopo Kementerian Pekerjaan Umum, Rabu (30/7/2025) yang merupakan kolaborasi strategis antara Universitas Pekalongan dan Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PU.
Dalam paparannya, Yuwono menyatakan bahwa kontrak konstruksi sebagai alat hukum yang mengikat dan menjadi dasar hubungan kerja sama antar pihak dalam proyek. Menurutnya, hal ini dikarenakan objek pekerjaan konstruksi pada umumnya belum eksis saat kontrak ditandatangani, maka potensi ketidakpastian sangat tinggi. Hal ini berbeda dari perjanjian sektor lain seperti jual beli, yang cenderung lebih sederhana.
“Tidak ada kontrak yang sekompleks kontrak konstruksi. Pemangku kepentingannya banyak, bukan hanya pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi saja seperti kontraktor, konsultan, perencana, manajemen konstruksi, vendor tetapi juga melibatkan masyarakat, bahkan aspek sosial dan politik,” ujarnya.
Yuwono menjelaskan bahwa kontrak konstruksi harus disusun dengan basis hukum yang kuat serta sistem penyelesaian sengketa yang adil, sebab hampir tidak ada proyek yang selesai tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya. “Kalau tidak ada payung hukum yang jelas, konflik kecil bisa membesar, hubungan antar pihak jadi rusak, dan proyek mangkrak,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menguraikan berbagai aspek hukum dalam konstruksi, mulai dari dasar hukum, seperti KUH Perdata, UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, hingga Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ia juga menjelaskan berbagai jenis kontrak yang umum digunakan—baik berdasarkan sistem pembayaran (lump sum, unit price, cost plus), maupun sistem pelaksanaan (Design-Bid-Build, Design and Build, EPC, BOT).
Selain itu, Yuwono menyoroti klausul-klausul penting dalam kontrak konstruksi yang kerap menimbulkan sengketa, seperti waktu penyelesaian, pembayaran, variasi pekerjaan, risiko dan asuransi, hingga jaminan dan penyelesaian sengketa.
Mengutip data sengketa konstruksi 2018–2024, Yuwono mengungkap bahwa 35% bersumber dari waktu, 28% dari biaya, 22% dari kualitas, dan 15% dari masalah kontraktual.
“Pemahaman mendalam atas hukum dan manajemen risiko sangat diperlukan. Perlu dibedakan juga antara harga kontrak dan nilai kontrak. Hal ini yang seringkali disalah pahami,” ujarnya.
Yuwono pun menggarisbawahi pentingnya membangun komunitas dan asosiasi hukum konstruksi, mengingat Indonesia belum memiliki sistem hukum konstruksi yang terintegrasi secara nasional. Banyak proyek besar yang mulai mengacu pada kontrak internasional seperti FIDIC, namun penggunaannya masih parsial dan belum utuh.
“Kita perlu menyusun draft Undang-Undang Hukum Konstruksi yang lebih komprehensif. Tidak bisa hanya bersandar pada regulasi sektoral. Butuh keterlibatan teknokrat, arsitek, ekonom, ahli manajemen, dan ahli hukum untuk merumuskan kerangka hukum yang solid,” jelasnya.
Sebagai kontribusi nyata, Yuwono menyerahkan buku karyanya kepada Universitas Pekalongan (Unikal) dan Direktorat Jendereal Bina Konstruksi Kementerian PU yang membahas pentingnya ekosistem kolaboratif dalam membangun kota dan industri kreatif serta peran arsitektur dalam eksosistem. Buku tersebut diharapkan dapat menjadi referensi dalam membangun Eksosistem Hukum di Sektor Kontruksi dan Hukum Konstruksi di Indonesia.

“Workshop ini bukan seremonial belaka, tetapi momentum strategis untuk mendorong kesadaran hukum dalam dunia konstruksi. Saya bersyukur, Propan Raya tempat saya berkarya sangat mendukung misi ini, baik secara ide maupun pendanaan kegiatan,” kata Yuwono.
Tak hanya menyampaikan materi paparan, Yuwono juga mendukung secara langsung penyelenggaraan acara, mulai dari kebutuhan perlengkapan, desain kaos dan goodie bag, door prize, hingga logistik.
“Saya paham Unikal fokus ke akademik, karena itu, kami dari sisi industri berupaya menjembatani kebutuhan kolaborasi dengan dunia bisnis/praktis, komunitas/asosiasi terkait dan pemerintah/pemangku kebijakan yang disebut Kolaborasi Quadruple Helix diantara unsur Akademisi, Bisnis, Community dan Goverement (ABCG) dan ditambah peran Media seperti Media Konstruksi menjadi Kolaborasi Pentahelix (ABCGM) ,” ucapnya.
Menutup sesi, Yuwono menegaskan bahwa hukum merupakan elemen kunci dalam menopang kolaborasi di sektor konstruksi dan pentingnya membangun Ekosistem di bidang Konstruksi dan Hukum Konstruksi . “Tanpa hukum, semua inovasi teknokrat, rancangan arsitek, dan strategi manajerial tidak akan terimplementasi dengan maksimal. Hukum adalah perekat sekaligus pengarahnya,” pungkasnya. (***)