
Transformasi Stasiun Kereta Lintas Barat: Menyulam Warisan, Mobilitas, dan Masa Depan Kota
Forum diskusi “Refleksi Stasiun Perkeretaapian: Harmonisasi Warisan, Masa Kini, dan Perkembangan Masa Depan”
Konstruksi Media – Perjalanan panjang stasiun kereta api di lintas barat Jabodetabek menggambarkan sebuah proses transformasi: dari warisan kolonial Belanda, menjadi tulang punggung mobilitas komuter masa kini, hingga kian terkoneksi dengan pusat-pusat pertumbuhan kawasan modern. Hal ini mengemuka dalam forum diskusi “Refleksi Stasiun Perkeretaapian: Harmonisasi Warisan, Masa Kini, dan Perkembangan Masa Depan” yang digelar Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Banten di ajang IndoBuildTech 2025, ICE BSD, Jumat (4/7).
Dari Jalur Lama ke Simpul Baru
Widya Sena Pradipta, Vice President of Non-Railway Assets Development Planning PT Kereta Api Indonesia (KAI), menyebutkan bahwa reaktivasi jalur, peningkatan kapasitas, dan elektrifikasi telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan wilayah.
“Dari yang sebelumnya hanya sekadar lintasan, kini menjadi simpul pertumbuhan baru. Jalur Tanah Abang–Rangkasbitung yang dulunya hanya memiliki beberapa stasiun besar, kini hampir seluruh stasiun di lintas barat naik kelas,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pembangunan stasiun bukan sekadar infrastruktur transportasi, melainkan bagian dari ekosistem kota. Kolaborasi dengan pengembang seperti di Stasiun Cisauk, Jatake, hingga rencana Cikupa memperlihatkan bahwa stasiun dapat menjadi magnet investasi dan pusat kegiatan masyarakat.

Revitalisasi Pasar Senen: Adaptif Tanpa Kehilangan Karakter
Ar. Sandhy Sihotang, anggota IAI dan Prinsipal Arsitek Bagan Desain, menyoroti pentingnya menjaga nilai sejarah dalam revitalisasi Stasiun Pasar Senen.
“Stasiun ini tidak bisa dilihat sendiri. Ia bagian dari konteks sejarah, transportasi, dan urbanisme. Kami menggunakan pendekatan konservatif yang adaptif—membedakan mana elemen asli dan mana tambahan, tapi tetap ‘berbicara dalam bahasa yang sama’,” jelas Sandhy.
Revitalisasi dilakukan secara bertahap. Di satu sisi, pelestarian elemen-elemen asli dilakukan melalui pemindaian 3D dan studi sejarah. Di sisi lain, pengembangan seperti skybridge baru dan plaza publik dilakukan untuk memperkuat konektivitas dan fungsi sosial.
Modernisasi Jalur dan Stasiun: Antara Teknologi dan Tradisi
Ir. Bambang Gunawan Kunta Wibisana, Kepala Seksi Prasarana Perkeretaapian BTP Kelas I Jakarta, menegaskan bahwa pengembangan jaringan dan stasiun telah dirancang sejak 2010 dalam kerangka Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) hingga 2030.
“Banyak jalur masih single track dan perlu ditingkatkan jadi double track. Kami juga tengah menyiapkan pembebasan lahan untuk pengembangan sepanjang 68 km. Ini pekerjaan teknis sekaligus sosial,” jelasnya.
Menurutnya, revitalisasi tidak bisa dilakukan seperti pembangunan gedung biasa. Waktu pengerjaan terbatas, harus mempertimbangkan keselamatan dan pelayanan, serta tetap menjaga elemen warisan budaya.
Baca juga: Konstruksi Media Terima Penghargaan IAI Banten di IndoBuildTech 2025
Perspektif Warisan dan Edukasi
Mushab Abdu Asy Syahid, anggota tim ahli Warisan Budaya Tak Benda Kota Tangerang dan akademisi UNTIRTA, menekankan bahwa revitalisasi stasiun harus dimaknai sebagai ruang edukasi sejarah dan budaya.
“Stasiun bukan sekadar tempat naik-turun kereta, tapi juga ruang di mana ingatan kolektif warga kota dibangun. Pelestarian arsitektur dan narasi sejarahnya harus dilibatkan dalam perencanaan, agar publik tidak terputus dari akarnya,” ujar Mushab.
Ia juga menambahkan bahwa pelibatan komunitas lokal dan akademisi dalam proses kurasi nilai-nilai budaya sangat penting, agar transformasi tidak menghilangkan makna.
Dimensi Arsitektural: Merawat Narasi Spasial
Ar. Ratu Arum Kusumawardhani, anggota IAI dan sejarawan arsitektur dari Universitas Indraprasta-PGRI, melihat bahwa revitalisasi stasiun menghadirkan tantangan lintas-disiplin: antara pelestarian narasi ruang dan penyesuaian terhadap kebutuhan kontemporer.
“Stasiun adalah cerminan zaman. Memperbarui tanpa menghilangkan ruhnya adalah pekerjaan halus yang perlu kepekaan sejarah, bukan hanya estetika. Elemen seperti fasad, bukaan, pola sirkulasi, bahkan material harus dilihat sebagai narasi spasial,” jelas Ratu Arum.
Ia mendorong adanya dokumentasi arsitektural yang menyeluruh agar intervensi terhadap bangunan stasiun lama bisa menjadi rujukan edukatif, tidak sekadar komersial.

Menyulam Masa Lalu dan Masa Depan
Keseluruhan diskusi menunjukkan bahwa transformasi stasiun di lintas barat Jabodetabek bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi upaya menyulam kembali masa lalu, masa kini, dan masa depan kota.
Seperti dikatakan Widya Sena dari PT KAI, “Stasiun yang baik bukan hanya titik transit, tapi katalis pertumbuhan dan ruang interaksi. Jika kita berhasil menjaga sejarah sambil mendorong modernisasi, maka kita telah membangun kota yang beradab.”
Di acara tersebut juga digelar nonton bersama pemutaran film pendek berjudul “Jelajah Kereta ke Barat” dan pemberian apresiasi ke sejumlah mita IAI Banten. (***)