
Konstruksi Media — Subkhan, Ketua QHSE BUMN Konstruksi, menegaskan pentingnya penguatan regulasi dan implementasi konkret prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) di sektor konstruksi untuk mendorong pencapaian target net zero emission. Hal ini ia sampaikan dalam acara ESG Integration In Construction: Building Sustainable Infrastructure For Net Zero Future yang digelar oleh PT Patra Drilling Contractor (PDC), anak usaha PT Pertamina Drilling Services Indonesia, bagian dari Subholding Upstream Pertamina, di Townhall Meeting, PDC Tower, Jakarta Timur.
“Sektor konstruksi adalah salah satu penyumbang polusi tertinggi, terutama dari emisi karbon akibat penggunaan alat berat dan material bangunan. Namun, regulasi yang secara spesifik mengikat sektor ini untuk menurunkan emisi masih sangat terbatas,” ujar Subkhan. Ia merujuk pada hasil studi yang menunjukkan bahwa emisi dari sektor konstruksi jauh lebih tinggi dibanding sektor lain, namun belum diimbangi dengan kebijakan yang memadai.
Subkhan menekankan bahwa keseimbangan antara penurunan emisi dan kepatuhan industri hanya dapat dicapai jika regulasi diperkuat, disertai dengan insentif maupun sanksi yang jelas. “Industri akan lebih patuh kalau dipaksa oleh regulasi, baik lewat insentif maupun penalti,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menguraikan lima pendekatan utama yang kini mulai diterapkan di sektor konstruksi dalam rangka menekan emisi karbon:
1. Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) – seperti pemasangan panel surya di kantor, pemanfaatan aerodat sebagai sumber air baku, hingga penggunaan alat berat seperti tower crane berbasis listrik.
2. Active Design – perencanaan desain yang mempertimbangkan pemilihan material, metode kerja, dan perangkat MEP (Mechanical, Electrical, and Plumbing) yang efisien energi. Contohnya penggunaan lampu dengan sensor gerak dan sistem ventilasi yang tidak hanya bergantung pada pendingin udara.
3. Passive Design – mengoptimalkan pencahayaan dan ventilasi alami sebagai mayoritas, serta efisiensi energi secara menyeluruh, termasuk pada penggunaan air dan listrik.
4. Pengendalian dan Monitoring Emisi di Proyek – melalui pengujian nilai ambang batas, pengawasan K3 lingkungan, uji emisi alat kerja, hingga partisipasi seluruh stakeholder proyek.
5. Peningkatan Kapasitas SDM – memastikan edukasi, kesadaran, dan kepemimpinan ESG ditanamkan secara konsisten kepada seluruh pelaku industri, karena kualitas SDM akan menentukan keberhasilan jangka panjang penerapan ESG.

Subkhan juga menekankan pentingnya mengubah paradigma ESG dari beban pembiayaan menjadi sumber nilai ekonomi. “Kita harus bisa mentransformasi ESG dari yang tadinya cost, menjadi cash. Jadi bukan hanya kewajiban, tapi bisa jadi peluang bisnis yang menguntungkan dalam jangka panjang,” jelasnya.
Ia menutup dengan mengingatkan bahwa komitmen terhadap ESG juga akan membuka akses terhadap pendanaan inovatif dari lembaga global, yang kini mulai mewajibkan penerapan prinsip keberlanjutan dalam setiap proyek.
“Net zero emission bukan sekadar jargon, tapi langkah strategis agar proyek berjalan efektif—biaya, mutu, dan waktu tercapai, repeat order terjaga, dan keberlanjutan proyek terjamin,” pungkas Subkhan. (***)