Setahun Prabowo-Gibran: Mesin Baru Dinyalakan, Kendaraan Baru Melaju
Oleh: Harun Al Rasyid Lubis - Guru Besar FTSL ITB, Chaiman IPKC, Infrastructure Partnership & Knowledge Center, Ketua Dewan Pakar HUDI ( Housing & Urban Development Institute), Dewan Pakar MASKEEI (Masyarakat Konservasi dan Effisiensi Energi Indonesia)
TARGET 8%: Ambisi yang Berakhir dengan Tindakan Panik
Walaupun ekuilibrium kekuasaan lama dan baru masih terus berayun, juga pidato-pidato yang menggelora di forum dalam dan luar negeri, satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mencatatkan paradoks pembangunan yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, pemerintah meluncurkan program-program unggulan turunan kampanye politik. Di sisi lain, target pertumbuhan 8% yang ambisius justru berakhir dengan tindakan panik – pergantian para menteri, terakhir Menteri Keuangan mendadak dan peluncuran stimulus Rp 200 triliun yang terburu-buru.
Setahun ini sudah dilakukan effisiensi anggaran, terutama infrastruktur, khususnya Pekerjaan Umum, turun drastis 50% — ancaman bagi tertundanya banyak pemeliharaan infrastruktur PU.
Berbeda dengan jaman Jokowi, ritual gunting pita infrastruktur kini turun drastis — BPI Danantara yang baru disiapkan untuk dapat mendorong investasi publik dan quasi-swasta (less commercial) masih berbenah lembaga untuk menjadi operator (penyelenggara) holding BUMN. Baru-baru ini peran Kementerian BUMN pun sudah pula berganti menjadi Badan Pengaturan (regulator) BUMN, yang menimbulkan banyak tanya.
Retak Saat Awal: Jumbo Target dan Percepatan Mengalahkan Substansi
Program-program andalan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, dan Sekolah Rakyat memang memiliki skala monumental, termasuk hilirisasi SDA . Namun implementasinya mengungkap cacat fundamental dalam model tata kelola: mengutamakan kecepatan politik di atas keberlanjutan teknokratis.
MBG: Bencana Logistik yang Terprediksi
Kasus makanan basi dan menu tidak bergizi bukanlah kegagalan niat, melainkan kegagalan desain operasional. Ketiadaan pilot project membuat kerentanan rantai pasok tidak terdeteksi sejak dini.
Pemerintah berasumsi dapat memperlakukan operasi logistik pangan yang kompleks seperti penyaluran logistik ala militer.
Koperasi Desa: Lubang Hitam Rp 200 Triliun
Program dengan risiko terbesar ini mengalokasikan dana triliunan tanpa mekanisme distribusi yang transparan dan akuntabel. Tidak adanya model bisnis yang viable mengindikasikan tujuan sekedar penyaluran dana, bukan penciptaan usaha pedesaan berkelanjutan.
Sekolah Rakyat Membangun Tembok, Bukan Masa Depan
Fokus pada pembangunan fisik 3.000 unit berisiko menciptakan “sekolah hantu” – struktur tanpa pendidikan berkualitas. Tanpa rekruitmen guru yang memadai dan kurikulum yang relevan, program ini gagal membangun ekosistem pembelajaran.
Program 3 Juta Hunian: Warisan Masalah yang Terus Berulang
Kementerian baru PKP dengan anggaran FLPP Rp 41,88 triliun hanya melanjutkan tradisi keliru pembangunan perumahan di Indonesia. Pencapaian kuantitatif dalam jumlah unit yang terbangun menutupi kegagalan kualitatif yang sistemik:
Lokasi yang terisolir
Banyak rumah dibangun di daerah terpencil tanpa akses memadai ke pusat pekerjaan. Yang terlihat “terjangkau” secara harga justru menjadi beban ekonomi baru akibat biaya transportasi yang membengkak. Menekankan eksekusi hunian formal layak terjangkau, namun mengabaikan potensi rumah komunitas dan urgency rumah sosial (singgah).
Infrastruktur PSU yang Tertinggal
Pembangunan rumah tidak diiringi penyediaan prasarana sarana dasar yang memadai. Yang terjadi adalah penciptaan kantung-kantung permukiman baru tanpa akses air bersih, listrik stabil, sanitasi layak, sekolah, dan puskesmas.
Kualitas Konstruksi yang Dipertanyakan
Pengawasan yang lemah dan penekanan pada target kuantitas sering mengorbankan kualitas bahan bangunan dan standar konstruksi. Hasilnya adalah rumah yang cepat mengalami kerusakan.
Mentalitas Sektor dengan
Program Silo ini menjadi contoh nyata kegagalan koordinasi antar kementerian. Kementerian PKP membangun rumah, namun koordinasi dengan kementerian terkait infrastruktur, transportasi, dan sosial terputus.
Kebijakan Hilirisasi SDA dan NZE 2060: Antara Ambisi dan Realita
Kebijakan hilirisasi sumber daya alam saat ini justru bertolak belakang dengan komitmen NZE 2060. Fakta menunjukkan bahwa:
1. Hilirisasi High-Carbon
· Smelter nikel mengandalkan PLTU batubara (80% kebutuhan energi)
· Emisi karbon industri pertambangan meningkat 45% dalam 3 tahun terakhir
· Kontribusi terhadap target NZE justru negatif
2. Kebijakan yang Tidak Terintegrasi
· Target hilirisasi mengejar kuantitas, mengabaikan sustainability
· Regulasi tumpang-tindih antara Kementerian ESDM, LHK, dan Bappenas
· Insentif fiskal tidak dikaitkan dengan kinerja lingkungan
3. Dampak Lingkungan dan Warga setempat yang Diabaikan
· Kerusakan ekosistem dari pertambangan skala besar
· Limbah B3 yang tidak terkelola optimal
· Deforestasi untuk kebutuhan energi industri
. Pelibatan warga lokal minim
Hilirisasi tanpa transisi energi justru memperparah beban karbon. Target ekonomi jangka pendek mengorbankan sustainability jangka panjang. Ketergantungan teknologi impor membuat Indonesia terjebak dalam pola high-carbon development
KRISIS KEPERCAYAAN DAN SOLUSI INSTAN
Ketika memasuki bulan ke-10, menjadi jelas target 8% mustahil tercapai:
· Realisasi investasi hanya 68% dari target
· Pertumbuhan ekonomi tersendat di 5.8%
· Tekanan politik memuncak
. Serapan APBN jauh dibawah target
Respons pemerintah justru mengkhawatirkan: sontak penggantian menteri keuangan mendadak dan peluncuran stimulus Rp 200 triliun tanpa persiapan memadai. Kebijakan ini mengandung risiko serius:
1. Tanpa pilot project dan uji coba terbatas
2. Monitoring & evaluasi yang tidak jelas
3. Risiko moral hazard dalam penyaluran kredit
4. Supply Kredit Murah atau persoalan “daya beli” dan inovasi bisnis ?
Baca juga: Pembangunan Infrastruktur, Prof Harun Al-Rasyid: Investor Masih wait and See
RESEP TEKNOKRATIS UNTUK TAHUN BERIKUT
Pemerintah harus beralih dari pola pikir kampanye ke pola pikir pembangun
1. Jeda Operasional dan Perbaikan Mendasar
· Hentikan ekspansi nasional MBG, fokus pada perbaikan rantai pasok
· Bekukan penyaluran dana koperasi, mulai dengan pilot project terbatas
· Kembangkan SOP nasional berbasis pembelajaran lapangan
2. Bentuk Unit Pelaksana Teknokratis
· Tim ahli independen yang melapor langsung ke presiden
· Kewenangan melakukan uji stres pra-implementasi
· Memantau KPI berbasis hasil, bukan penyerapan anggaran
3. Transformasi Program Perumahan: Dari Unit ke Komunitas
Terapkan Prinsip “No Housing Without Habitat”
· Syaratkan integrasi infrastruktur dasar dalam setiap proyek perumahan baru
· Prioritaskan pembangunan di lokasi strategis dekat pusat pekerjaan
· Bentuk Ombudsman Pengawasan Kualitas Perumahan dengan kewenangan menghentikan proyek yang tidak memenuhi standar
Bangun Kawasan Terpadu dan Hunian Berimbang
· Kembangkan model “Cluster Development” yang menyatukan perumahan dengan kawasan industri kecil, pendidikan, dan kesehatan
· Wajibkan penyediaan lahan untuk fasilitas publik dalam setiap perencanaan kawasan permukiman
· Integrasikan program perumahan dengan transportasi publik
4. Rekayasa Sinergi Program
· Integrasikan pengadaan MBG dengan koperasi desa
· Jadikan sekolah sebagai hub komunitas multifungsi
· Bangun kawasan terpadu yang menyinergikan permukiman, pendidikan, dan ekonomi
PILIHAN LEGACY: Percepatan VS Berkelanjutan
Tahun pertama Prabowo membuktikan keberanian politik yang tak diragukan. Namun keberanian saja tidak cukup. Stimulus Rp 200 triliun mungkin akan mendongkrak pertumbuhan jangka pendek, namun tanpa fondasi teknokratis yang kuat, kebijakan ini berisiko menjadi beban jangka panjang.
Pilihan untuk tahun kedua sangat jelas: teruskan model “serbu terobosan untuk capai target ambisius” yang mengorbankan keberlanjutan demi percepatan, atau beralih ke pendekatan teknokratis yang membangun sistem berkelanjutan yang memang butuh waktu.
Program 3 Juta hunian layak terjangkau, misalnya, jangan sampai terus membangun unit-unit fisik yang terisolasi. Ini harus beralih ke pendekatan komunitas terpadu (di kota dan di desa) yang menciptakan hunian layak dan berkelanjutan. Kalau ingin massif, Perum Perumnas harus bertransformasi dari developer konvensional menjadi orchestrator ekosistem perumahan (off-taker dan manajer asset) yang inklusif dan berkelanjutan.”
Dalam Hilirisasi SDA dan Transisi Energi:
· Wajibkan pemanfaatan EBT untuk smelter baru
· Konversi bertahap smelter existing ke energi terbarukan
· Moratorium pembangunan PLTU baru untuk industri hilir
Dalam setiap hilirisasi SDA:
· Prioritaskan pengembangan produk hijau (green nickel, green aluminum)
· Terapkan standar lingkungan ketat dalam seluruh rantai nilai
· Kembangkan industri daur ulang sebagai bagian hilirisasi
· Integrasikan target emisi dalam setiap proyek hilirisasi
· Alihkan insentif dari quantity-based ke quality-based
· Perkuat penegakan hukum lingkungan
Indonesia harus segera melakukan koreksi fundamental. Hilirisasi bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai kesejahteraan berkelanjutan. Saatnya untuk reset kebijakan – menempatkan NZE sebagai framework utama, dengan hilirisasi sebagai instrument yang harus tunduk pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sudah waktunya menukar ketergesaan dengan ketelitian, trade-off politik dengan evidence-based policy, dan warisan slogan dengan warisan sistem. Masa depan Indonesia tergantung pada pilihan ini.
Tahun kedua harus menjadi momentum koreksi fundamental. Bukan dengan program baru yang gegap gempita, tetapi dengan:
1. Menata ulang pendekatan pembangunan berbasis evidence-based policy
2. Memperbaiki tata kelola fiskal dan birokrasi
3. Membangun sistem yang sustainable bukan proyek yang sensasional
Keberhasilan pembangunan tidak diukur dari jumlah proyek yang dimulai, tetapi dari manfaat riil yang dirasakan rakyat dan keberlanjutan sistem yang dibangun.
Dengan pendekatan yang lebih teknokratis, terukur, dan accountable, pemerintahan tahun kedua dapat membangun fondasi yang kuat untuk transformasi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya.
Indonesia tidak membutuhkan pemerintah yang hanya sibuk; Indonesia membutuhkan pemerintah yang efektif. Warisan sejati bukan diukur dari jumlah program yang diluncurkan, melainkan dari sistem yang tetap bertahan dan bermanfaat setelah pemimpinnya lengser. (***)




