
Konstruksi Media – “Sebuah bangsa yang tidak mampu melindungi industrinya sendiri adalah bangsa yang kehilangan martabat di mata dunia” – Lee Kuan Yew.
Di tengah hiruk pikuk pembangunan infrastruktur yang menggeliat di setiap sudut nusantara, sebuah jeritan pilu mengalun dari para pelaku industri baja konstruksi tanah air. Asosiasi Industri Baja Konstruksi Indonesia (ISSC – Indonesia Society of Steel Construction) memecah keheningan dengan seruan keras yang menggugah hati nurani bangsa: stop impor baja yang tak berstandar! Seruan ini bukanlah sekadar keluhan bisnis biasa, melainkan tangis pilu industri yang tengah digerogoti oleh banjir produk asing yang mengalir deras tanpa kendali.
Asosiasi Industri Baja Konstruksi Indonesia (ISSC) mencatat banyak produk baja impor yang tidak sesuai standar beredar di dalam negeri. Fakta ini ibarat duri dalam daging bagi para pengusaha lokal yang telah berjuang puluhan tahun membangun fondasi industri dengan standar mutu yang ketat.
Dalam diskusi terbuka di Jakarta pada 24 Juli 2025, Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata, menyampaikan kegelisahan yang sangat manusiawi tentang nasib para pekerja lokal, pengrajin baja kecil menengah, dan keberlanjutan industri batangan yang menjadi fondasi pembangunan nasional
Budi menegaskan, serbuan baja impor terutama dari Vietnam dan China tidak hanya soal harga murah semata. Produk struktur baja prefabrikasi atau PEB (pre engineered building) yang masuk tanpa jaminan SNI dan TKDN telah membuat produsen lokal tidak berkutik. Ia menyoroti: “Kita tidak anti-impor, tapi harus jelas. Jangan sampai proyek nasional justru dibangun dengan baja yang tidak jelas asal usul, kekuatan, dan ketahanannya”.
Gerakan ini bukan hening. ISSC bahkan mendeklarasikan Satgasus Stop Impor Konstruksi Baja yang dikomandoi oleh Mochamad Yunus S.H., mencanangkan enam tuntutan tegas: menghentikan semua impor baja konstruksi dan turunannya, mencabut izin PBG dan SLF bagi bangunan yang memakai material impor, menghentikan sertifikasi SNI/TKDN bagi pengguna baja impor, hingga kesiapan aksi damai dan gugatan hukum bila perlu.

Semangat ini memancarkan harapan besar untuk menyelamatkan industri dari jalan menuju kehancuran, seperti yang pernah dialami sektor tekstil nasional.
Tekanan harga dari produk impor membuat produsen lokal yang memenuhi SNI dan TKDN kalah saing. Akibatnya, lapangan kerja terancam surut, industri kehilangan mitra rantai pasok lokal, dan kedaulatan industri mulai terkikis.
Seperti yang dikatakan oleh Fedaus, Direktur Utama PT Gunung Raja Paksi Tbk: “Jika baja impor masuk tanpa kontrol, tanpa pengawasan sertifikasi, itu menciptakan kompetisi yang tidak adil”.
Saya membayangkan sosok para pekerja pabrik dan bengkel baja: tangan mereka membengkokkan potongan baja, menyusun rangka baja yang menjadi kerangka jantung gedung publik, jembatan, atau fasilitas sosial.
Ketika materi impor merajalela, mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan—namun juga kehilangan kebanggaan atas karya mereka yang membangun negeri ini.
Dampaknya pada industri konstruksi baja dalam negeri jauh lebih luas daripada sekadar angka angka. Bila dibiarkan maju, kepercayaan klien terhadap produsen lokal bisa menurun, merembet ke kualitas desain engineering, hingga ke reputasi proyek-proyek nasional.
Proyek konstruksi bisa terancam keselamatannya apabila menggunakan baja dengan mutu abu-abu, tanpa bukti kekuatan dan kepatuhan terhadap standar teknis yang ditegakkan pemerintah.
Gelombang baja impor yang membanjiri pasar domestik ini bukan sekadar angka statistik yang dingin. Di baliknya, terdapat jutaan pekerja yang bergantung pada industri baja nasional, dari buruh pabrik hingga teknisi ahli yang telah mengabdikan hidupnya untuk kemajuan industri dalam negeri.
Konsumsi baja nasional pada tahun 2024 diperkirakan akan mencapai 18,3 juta ton atau tumbuh sebesar 5,2%, sebuah angka yang seharusnya menjadi berkah bagi industri lokal, namun kini terancam dikuasai oleh produk impor yang tak bermutu.
Dampak dari serbuan baja impor tak berstandar ini terasa seperti tsunami yang menghantam ekosistem industri nasional. Para produsen lokal yang telah berinvestasi miliaran rupiah untuk mesin-mesin canggih dan sertifikasi internasional, kini harus gigit jari melihat pangsa pasarnya tergerus oleh produk-produk murah yang tidak memiliki jaminan kualitas. ISSC meminta pemerintah melindungi industri baja konstruksi nasional dari serbuan impor Vietnam hingga China. Permintaan ini bukan tanpa alasan, mengingat baja impor dari negara seperti Vietnam dan Cina masuk pasar dengan harga kompetitif.
Ironi paling menyakitkan adalah ketika kita menyadari bahwa industri baja nasional pada saat ini memiliki nilai total konsumsi produk sebesar Rp 200 triliun, dengan nilai output produksi mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Angka fantastis ini menunjukkan betapa besarnya potensi yang dimiliki industri baja Indonesia, namun sekaligus menjadi bukti betapa beratnya ancaman yang dihadapi jika tidak ada perlindungan yang memadai.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur yang masif, kualitas baja menjadi faktor krusial yang menentukan keselamatan jutaan jiwa. Jembatan yang ambruk, gedung yang retak, atau infrastruktur yang tidak tahan gempa, semuanya bisa bermula dari penggunaan baja berkualitas rendah. Ketika proyek-proyek strategis nasional menggunakan baja impor yang tidak berstandar SNI, maka kita sedang mempertaruhkan nyawa rakyat demi penghematan biaya sesaat.
Para pekerja di industri baja lokal merasakan langsung dampak dari persaingan tidak sehat ini. Jam kerja yang berkurang, upah yang stagnan, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja menjadi momok yang menghantui ribuan keluarga.
Mereka yang telah mengabdikan keahliannya untuk membangun industri strategis ini, kini harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa jerih payahnya tidak dihargai oleh pasar yang lebih memilih produk murah tanpa mempertimbangkan aspek kualitas dan keberlanjutan.
Solusi untuk mengatasi krisis ini memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak. Pemerintah perlu segera memperketat pengawasan terhadap produk baja impor dengan memastikan setiap produk yang masuk telah memenuhi standar SNI.
Terdapat pengecualian larangan dan pembatasan (lartas) impor barang kiriman komoditas besi, baja, dan produk turunan untuk kegiatan usaha maksimal USD 1.500 per pengiriman, namun celah ini justru dapat dimanfaatkan oleh importir nakal untuk menyelundupkan produk berkualitas rendah.
Penerapan sistem monitoring yang ketat di pelabuhan-pelabuhan utama menjadi langkah awal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Setiap kontainer baja impor harus melalui pemeriksaan laboratorium yang komprehensif sebelum diizinkan beredar di pasar domestik. Biaya pemeriksaan ini sebaiknya dibebankan kepada importir sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keselamatan publik.
Edukasi kepada konsumen, terutama kontraktor dan pengembang, juga menjadi kunci penting dalam memutus rantai permintaan terhadap baja berkualitas rendah. Kampanye massal tentang bahaya penggunaan baja tidak berstandar perlu digalakkan melalui berbagai media, lengkap dengan contoh kasus nyata kerugian yang ditimbulkan. Ketika konsumen memahami risiko jangka panjang dari penggunaan baja murah, maka preferensi mereka akan bergeser ke produk lokal yang bermutu.
Industri baja nasional juga perlu melakukan konsolidasi internal untuk meningkatkan daya saing. Investasi dalam riset dan pengembangan teknologi baru, peningkatan efisiensi produksi, serta inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar lokal menjadi agenda mendesak yang harus dijalankan.
Industri logam dasar yang tumbuh 13,34 persen sejalan dengan peningkatan permintaan luar negeri, terutama produk besi dan baja, menunjukkan bahwa industri ini memiliki potensi besar untuk berkembang jika mendapat dukungan yang tepat.

Pembentukan kemitraan strategis antara produsen baja lokal dengan institusi penelitian dan perguruan tinggi dapat mempercepat proses inovasi. Transfer teknologi dari negara-negara maju dalam industri baja, seperti Jepang dan Korea Selatan, juga perlu diprioritaskan untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri hingga setara dengan standar internasional.
Aspek pembiayaan juga tidak boleh diabaikan. Akses terhadap kredit dengan bunga kompetitif bagi industri baja nasional perlu dipermudah, terutama untuk investasi modernisasi peralatan dan ekspansi kapasitas produksi. Bank-bank pembangunan daerah dapat berperan aktif dalam menyediakan skema pembiayaan khusus yang disesuaikan dengan karakteristik industri baja.
Di tengah tantangan yang menggunung ini, semangat para pelaku industri baja nasional patut diacungi jempol. Mereka tidak menyerah begitu saja, tetapi terus berjuang mempertahankan eksistensi dengan meningkatkan kualitas produk dan layanan.
Dedikasi ini layak mendapat apresiasi dan dukungan penuh dari seluruh elemen bangsa, karena pada hakikatnya, membela industri baja nasional adalah membela kedaulatan ekonomi Indonesia.
Masa depan industri baja Indonesia sebenarnya cerah jika semua pihak bersatu padu mengatasi tantangan ini. Dengan populasi yang terus bertambah, urbanisasi yang meningkat, dan program pembangunan infrastruktur yang ambisius, permintaan terhadap produk baja berkualitas akan terus meningkat. Momentum ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembalikan kejayaan industri baja nasional.
Ketika kita berhasil membangun industri baja yang mandiri dan berkualitas, maka kita tidak hanya menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membangun fondasi kokoh bagi generasi mendatang. Setiap balok baja yang diproduksi oleh anak bangsa adalah simbol kemandirian dan kebanggaan nasional yang tidak ternilai harganya.
Kita punya potensi—dengan kapasitas 17 juta ton per tahun dan permintaan yang masih bisa dicapai domestik, kita hanya perlu sedikit dorongan regulasi dan komitmen bersama untuk menutup celah 4 juta ton impor ilegal. Jika sampai 2045 demand nasional bisa mencapai 100 juta ton per tahun, maka sekarang adalah saat kita membangun fondasi baja yang kokoh demi masa depan energi, infrastruktur, dan manufaktur Indonesia
Saya menutup tulisan ini dengan semangat humanis: industri baja bukan sekadar besi, ia adalah denyut kehidupan pelaku usaha kecil, pekerja fabrikasi, insinyur lokal, semua bergandeng tangan membentuk kerangka negeri.
Untuk itu marilah kita sadari bahwa seruan tegas ISSC “hentikan impor baja” bukan sekedar slogan kosong belaka. Ia adalah seruan cinta. Cinta kepada kedaulatan, cinta kepada generasi mendatang, dan cinta kepada masa depan bangsa yang dibangun dengan karya anak bangsa sendiri.
“Kemerdekaan sejati suatu bangsa terletak pada kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan produksi sendiri” – Mahatma Gandhi.
Sumber Referensi :
https://www.liputan6.com/bisnis/read/6115287/ri-banjir-produk-baja-impor-tak-sni-industri-lokal-teriak
https://konstruksimedia.com/issc-deklarasi-satgasus-stop-impor-konstruksi-baja/
https://gunungrajapaksi.com/media-coverage/strengthening-the-national-steel-industry-amid-import-pressures?utm_source=chatgpt.com
https://iisia.or.id/news/proyeksi-kinerja-baja-nasional-2024
https://ekonomi.republika.co.id/berita/t01hcg423/baja-konstruksi-impor-banjiri-pasar-pelaku-industri-lokal-kian-gusar
https://gunungrajapaksi.com/media-coverage/strengthening-the-national-steel-industry-amid-import-pressure