Sertifikasi

Sektor Jasa Konstruksi Minta Relaksasi SKK dan SBU, Pemerintah Sebut Sedang Disiapkan

Masih minimnya sertifikat badan usaha dan sertifikat kompetensi kerja konstruksi membuat sejumlah badan usaha kesulitan mendapatkan proyek pemerintah.

Konstruksi Media – Masih minimnya jumlah sektor konstruksi yang mempunyai Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) baru sekitar 23% dan SBU (Sertifikat Badan Usaha) baru sekitar 11% mengakibatkan sektor badan usaha sektor konstruksi di Indonesia memasuki masa senja.

Jika situasi ini terus terjadi, dan tidak ada upaya pemerintah untuk melakukan relaksasi terhadap peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelum, kemungkinan besar ribuan pelaku usaha di sektor konstruksi bakal mengalami “kematian massal”.

Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) Peter Frans mengatakan saat ini yang terjadi yaitu badan usaha sektor konstruksi kesulitan membuat SBU, terlebih SKK Konstruksi yang telah dimiliki oleh pekerja jumlahnya masih sangat sedikit sekali yakni sekitar 7.000-an dari yang seharusnya 200 ribu.

Pasalnya, SKK konstruksi merupakan tanda bukti yang harus dimiliki seseorang yang ingin menjadi tenaga ahli atau tenaga terampil di bidang konstruksi. Kewajiban memiliki SKK berdasarkan surat Edaran No.02/SE/M/2021/SE/M/20 Tentang perubahan atas Surat Edaran Menteri PUPR No 30/SE/M/2020 Tentang Transisi Layanan Sertifikasi Badan Usaha dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Jasa Kontruksi.

“Hingga Juni 2022 baru ada sekitar 7.373 orang SKK, bayangkan Anggota INKINDO itu sekitar 16.000, katakan setiap badan usaha 2 SKK saja maka dibutuhkan 200 ribu SKK, sementara yang ada baru hanya 7 ribuan SKK, artinya SKK nya baru 3%, dan ada 97% yang belum ada SKK nya. Ini bukan hal yang biasa-biasa saja, melainkan sudah memprihatinkan, sehingga kami kemarin bersama 12 asosiasi badan usaha jasa konstruksi nasional telah menyuarakan dengan berkirim surat ke Kementerian PUPR, Kementerian BKPM, akan tetapi ke-12 asosiasi tersebut termasuk INKINDO belum mendapatkan balasan atau surat resmi,” ungkap Peter kepada Konstruksi Media, usai penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) INKINDO ke-2 di Mercure Ancol, sebagaimana ditulis, Kamis, (28/7/2022).

Selain itu, data dari LSI menyebut sampai hari ini sudah terdapat 3.489 sub bidang yang sudah lulus, sedangkan anggota INKINDO ada 16 ribu dari empat sub bidang, artinya baru sekitar 21% yang bisa mengurus SBU-nya. Sementara sampai bulan Juni 2022, baru diterbitkan sub-klasifikasi sebanyak 25.701 sub-klasifikasi oleh 11 Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU).

Ketua Umum DPN INKINDO Peter Frans. Do. Ist Komed

Sebagaimana diketahui SBU merupakan salah satu persyaratan utama dalam mengikuti lelang pekerjaan oleh pemerintah. Bahkan berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP Nomor 05 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pelaku usaha bidang konstruksi terancam ditutup apabila tidak memiliki SBU yang dikeluarkan oleh LSBU sebagai lembaga yang dibentuk oleh asosiasi badan usaha terakreditasi.

Masih minimnya badan usaha yang belum memperpanjang SBU selain karena jumlah LSBU, juga disebabkan beratnya persyaratan yang harus dipenuhi. Untuk itu para Asosiasi meminta PP No. 05/2021 untuk segera dilaksanakan relaksasi.

“Kita saat ini sedang berusaha menyuarakan hal ini kepada pemerintah bersama asosiasi lainnya. Kita meminta relaksasi untuk hal ini, karena kalau tidak, hampir semua SBU dan SKK akan mati,” imbuhnya.

Secara bersamaan, Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud mengungkapkan saat ini pemerintah tengah menyiapkan peraturan untuk mempermudah kepengurusan sertifikat badan usaha (SBU) dan sertifikasi kompetensi konstruksi (SKK).

Baca Juga : Pentingnya Memilih Badan Usaha Konstruksi Berlisensi

“Peraturan sedang disiapkan, begitu terbit langsung berubah semuanya. Peraturan tidak berubah, tetapi relaksasi saja,” ungkap Nicodemus.

Ia mengungkapkan, peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah jika dilapangan terkendala atau tidak berjalan dengan baik, pemerintah mengambil langkah untuk melakukan relaksasi atau dirubah.

“Kalau di lapangan tidak jalan, kita rubah jadi lebih baik. Itu saja poinnya,” paparnya.

Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi Kementerian PUPR Nicodemus Daud. Dok. Ist Komed

Dirinya juga berpesan kepada konsultan konstruksi saat melakukan desain terhadap proyek yang berasal baik dari APBN ataupun APBD sebaiknya untuk berhati-hati dalam penggunaan produknya.

Pasalnya, penggunaan barang impor sebagaimana yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono untuk melarang menggunakan dalam proyek APBN maupun APBD.

“APBN dilarang belanja impor. Titik. Makanya konsultan kalau membuat desain hati-hati, cek dulu barangnya dari mana. Kalau APBN/APBD tidak boleh memakai barang impor. Presiden dan Menteri PUPR juga juga menekankan agar APBN dilarang membelanjakan produk impor,” tukasnya.

Baca Artikel Selanjutnya :

Artikel Terkait

Leave a Reply

Back to top button