INFOKonstruksi BerkelanjutanNewsOPINI

Racun Inkonsistensi di LPJK?

Oleh: Ir. Effendi Sianipar.MM.MSI

Dari Pasal 7 dan 8 ini terlihat bahwa UU No. 2 Tahun 2017 memberi ruang bagi daerah untuk berperan. Namun, jika dikaitkan dengan Permen PUPR No. 9 Tahun 2020, seolah-olah aturan tersebut mengabaikan potensi dan kapasitas sumber daya daerah—padahal otonomi daerah juga harus diperhitungkan.

Inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan amanat UU, yang pada akhirnya membuat banyak asosiasi jasa konstruksi seakan mengalami mati suri.

Di tengah luasnya jangkauan wilayah Indonesia, LPJK membutuhkan kepemimpinan yang andal. Maka, saat memilih tujuh orang pengurus, panitia seleksi melakukan langkah taktis dan strategis—hingga menghasilkan laporan yang kemudian diuji kelayakan dan kepatutannya oleh DPR, tepatnya pada 7 Desember 2020, untuk masa bakti hingga 23 Desember 2024.

Namun, dalam praktiknya, sempat terjadi gangguan proyek konstruksi karena tidak adanya SBU dan SKK yang valid. Proyek-proyek tertunda atau bahkan dihentikan karena tidak memenuhi persyaratan legal dan administratif. Sayangnya, dalam situasi tersebut, negara—dalam hal ini Kementerian PUPR dan LPJK—tidak hadir untuk melindungi para pengusaha, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan terhadap LPJK.

Di sisi lain, LPJK juga telah melakukan berbagai perbaikan, seperti penertiban tenaga kerja konstruksi. Tapi masih banyak hal yang belum menyentuh harapan pelaku usaha, misalnya: belum jelasnya sistem rantai pasok material, sistem permodalan yang tidak terasa manfaatnya, dan lambatnya proses administrasi perusahaan.

Sebuah ilustrasi:

Ada seorang sopir yang setiap hari harus melewati jembatan darurat di malam hari. Dua hansip berjaga dengan lampu senter sebagai penunjuk jalan. Sang sopir berjudi dengan nasibnya, tapi akhirnya percaya bahwa masih ada orang yang bekerja di tengah malam demi keselamatan. Ia pun menyanyikan lagu: “Indonesia adalah tanah yang mulia,” meski sadar banyak yang tidak mulia di sekitarnya.

Tanah yang mulia itu kini dibangun tol—Tol MBZ—yang diberi nama seorang tokoh terhormat. Namun pembangunannya dikorupsi sebesar Rp550 miliar, meski para pelaksana telah menandatangani fakta integritas anti-suap. Ironisnya, proyek ini melibatkan BUMN dan konsultan anggota INKINDO yang semuanya dibina oleh LPJK. Lalu apa kata MBZ? Di mana suara para pemangku jabatan jasa konstruksi? Jawabannya: “Itu hanya oknum.”

Dari cerita di atas, kepemimpinan disektor Jasa Konstruksi dan lebih khusus pd LPJK membutuhkan kebijaksanaan, dgn pemahaman mendalam atas UU Otonomi Daerah dan UU Jasa Konstruksi, serta kejelian membaca realitas lapangan, dan Asosiasi jasa konstruksi semakin kehilangan daya, padahal LPJK sendiri ada karena keberadaan asosiasi.

Maka, untuk membenahi dunia konstruksi yang kusut, LPJK harus berani bersikap konsisten—bahkan terhadap dirinya sendiri. Tanpa pandang bulu, baik terhadap BUMN maupun pengusaha besar, LPJK harus tegas menyatakan dan menindak pelanggaran. Dan hanya dengan menghancurkan “racun inkonsistensi kebijakan”,dunia jasa konstruksi Indonesia penyerap tenaga kerja yg banyak bisa kembali berjaya bersama asosiasi yang kuat. (***)

Previous page 1 2

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp