Konstruksi Media — Proyek konstruksi kerap dipandang semata sebagai urusan teknis dan fisik. Padahal, setiap infrastruktur membawa dampak sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat di sekitarnya. Menyadari hal tersebut, Guru Besar ke-236 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Ir. Mohammad Arif Rohman, ST, MSc, PhD, menggagas perlunya penguatan dimensi sosial sebagai kunci keberhasilan jangka panjang pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Profesor ITS bertajuk “Penguatan Dimensi Sosial pada Konsep Infrastruktur Berkelanjutan untuk Mewujudkan Sukses Jangka Panjang Proyek Konstruksi di Indonesia”, Prof. Arif menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak cukup diukur dari capaian teknis jangka pendek semata. “Pembangunan harus dilihat dari sejauh mana manfaatnya benar-benar dirasakan masyarakat sebagai pengguna,” ujarnya.
Profesor dari Departemen Teknik Sipil ITS tersebut mengawali paparannya dengan menjelaskan konsep Triple Bottom Line (TBL), pendekatan yang menekankan keseimbangan antara tiga pilar utama infrastruktur berkelanjutan, yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial. Namun, menurutnya, praktik pembangunan di lapangan masih didominasi oleh pertimbangan ekonomi dan sebagian kecil aspek lingkungan, sementara dimensi sosial sering kali terabaikan.

Berangkat dari kenyataan tersebut, Arif memperkenalkan terobosan yang ia sebut Project Social Benefit (PSB). Melalui pendekatan kuantitatif, PSB memungkinkan manfaat sosial suatu proyek diukur, dimonitor, dan dikontrol secara sistematis. “Pendekatan ini memberikan perspektif baru bahwa infrastruktur sejatinya hadir untuk manusia, bukan sekadar deretan angka investasi,” tegas alumnus program doktor Manajemen Konstruksi University of Melbourne, Australia, itu.
Baca juga: Wujudkan Hunian Sejuk dan Hemat Energi, Profesor ITS Kembangkan Desain Fasad Bioklimatik
Untuk memperkuat gagasannya, Arif memaparkan hasil penelitiannya terhadap delapan ruas jalan tol di Indonesia. Ia menemukan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat dengan persepsi penyelenggara proyek. Masyarakat menginginkan fasilitas yang aman dan nyaman, akses yang setara, kohesi sosial yang tetap terjaga, serta pelestarian budaya lokal. Namun, pemerintah dan pihak swasta sering kali lebih menitikberatkan pada penyelesaian teknis dan kepentingan jangka pendek yang berorientasi pada biaya, waktu, dan mutu.
Menurut Arif, tantangan utama penerapan konsep keberlanjutan sosial di Indonesia terletak pada rendahnya kesadaran para pemangku kepentingan dan masyarakat terhadap pentingnya dimensi sosial. Padahal, peningkatan pemahaman ini sangat penting agar pembangunan tidak hanya menghasilkan infrastruktur yang selesai tepat waktu, tetapi juga memberikan dampak sosial positif jangka panjang yang sepadan dengan investasi besar yang dikeluarkan.
Sebagai langkah strategis, Arif mendorong penerapan konsep Public Private People Partnership (4P) — penyempurnaan dari skema Public Private Partnership (PPP) yang selama ini hanya melibatkan pemerintah dan swasta. “Dengan menambahkan unsur people atau masyarakat, pembangunan akan menjadi lebih inklusif dan berorientasi pada kepentingan publik,” jelasnya.
Di akhir orasinya, profesor kelahiran Sidoarjo itu menyampaikan optimismenya bahwa hasil penelitian dan konsep yang ia gagas dapat menjadi instrumen komprehensif bagi pengambil keputusan di sektor infrastruktur. Ia juga meyakini bahwa kontribusinya akan turut mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin 9 tentang Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, serta poin 11 tentang Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan. (***)




