
Prof Khrisna: Bisnis Konstruksi Indonesia Belum Mampu Memasuki Pasar Global
Konstruksi sebagai industri belum menjadi prioritas di Indonesia.
Konstruksi Media, Jakarta – Secara bisnis, konstruksi Indonesia dinilai belum mampu memasuki pasar global. Alhasil, Indonesia selama ini hanya menjadi sub-kon dan sulit untuk menjadi ‘pemain utama.’
Penyebabnya beraneka ragam. Antara lain kemampuan permodalan (financing) yang kurang, tingkat suku bunga yang tinggi untuk Indonesia, dan pemahaman regulasi negara setempat yang kurang.
Demikian dikatakan Prof Dr Ir Khrisna Suryanto Pribadi, Ketua Umum Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI) periode 2024-2028 yang baru saja terpilih dalam Musyawarah Nasional (Munas) IAMPI 2024 yang dihelat di Hotel Kaisar, Jakarta, Minggu (21/7/2024).
“Selama ini yang menjadi masalah ketika memasuki pasar global, bisnis konstruksi Indonesia belum mampu. Problemnya ada di kemampuan financing, tingkat suku bunga yang tinggi untuk Indonesia, dan pemahaman regulasi di negara setempat yang kurang,” kata Prof Khrisna.
Dikatakan, sejumlah BUMN Konstruksi Indonesia memang ada yang pernah mendapat proyek di berbagai negara. “Tetapi mereka (BUMN Konstruksi, red) tidak pernah menjadi ‘pemain utama.’ Leadernya tetap perusahaan-perusahaan konstruksi negara lain,” kata mantan Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB ini.
Banyak hal yang harus dilakukan pemerintah dalam upaya mengatasi persoalan di dunia bisnis konstruksi Indonesia.
Prof Khrisna mencontohkan China, yang memiliki banyak BUMN Konstruksi di negaranya. Tetapi pemerintah China mendukung penuh setiap BUMN Konstruksi di sana sehingga tidak sedikit BUMN Konstruksi dari China bisa berkiprah dan menjadi pemain utama atau leader dari berbagai proyek konstruksi di banyak negara di dunia.
“Konstruksi sebagai industri belum menjadi prioritas di Indonesia. Dalam membangun infrastruktur yang diprogram untuk jangka waktu 5 tahun, 10 tahun, misalnya, perlu dimanage dengan baik. Nah kita masih lemah di sini. Contoh, Kementerian PUPR kalau menunjuk konsultan manajemen, seringkali telat. Padahal, proyeknya sudah berjalan sehingga konsep manajemen konstruksinya tidak maksimal,” katanya.
Prof Khrisna yang pada Februari 2024 lalu berusia 71 tahun ini berharap, pemerintah bisa memperkuat kapasitas pemahaman manajemen proyek bagi para stakeholder di pemerintahan pada level tertentu seperti proyek-proyek infrastruktur.
Menurutnya, kekurangpahaman manajemen proyek tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya masalah hukum pada proyek-proyek infrastruktur. “Contohnya kasus jalan tol Japek (Jakarta-Cikampek, red) karena adanya perbedaan pandangan antara APH (Aparat Penegak Hukum) dan penyelenggara proyek,” katanya.
Terkait kasus itu, pihaknya kedepan akan mengajak APH untuk lebih mengenal dan memahami manajemen proyek.
Dikatakan, IAMPI sendiri merupakan asosiasi profesi/kumpulan para praktisi Ahli Manajemen Proyek Indonesia yang didirikan di Jakarta pada 16 Juli 1999 dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelaksanaan proyek dan program dengan menyediakan pelajaran manajemen proyek dan konsultansi dalam skala luas bagi stakeholder dan masyarakat.
IAMPI tidak hanya bergerak di bidang konstruksi, lingkup layanan IAMPI juga di bidang non-konstruksi.
“Di antaranya, penyedia jasa perbankan, keuangan dan asuransi, telekomunikasi, oil and gas, pertambangan dan energi, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat serta pengguna jasa lainnya. Saat ini anggota IAMPI kurang lebih sebanyak 3.000 orang, tetapi yang aktif sekitar 300 anggota,” kata Prof Khrisna sembari menjelaskan bahwa kedepan, ada tiga program yang akan dilakukan di IAMPI. Yaitu konsolidasi, advokasi, dan digitalisasi manajemen proyek.
“Konsolidasi semua anggota, konsolidasi terhadap program-program termasuk sertifikasi, lalu konsolidasi tentang proses bisnisnya. Lalu, advokasi; mendesiminasikan pengetahuan tentang manajemen proyek kepada semua stakeholder supaya ada kesamaan pemahaman. Yang ketiga, adalah terkait digitalisasi manajemen proyek,” pungkasnya. (Hasanuddin)