
PGE Ungkap Daftar Tantangan Proyek Panas Bumi, Fokus pada Lapangan Matang untuk Tekan Risiko
Tantangan terbesar masih datang dari risiko bawah permukaan (subsurface risk)
Konstruksi Media — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) memetakan sejumlah tantangan dalam pengembangan proyek pembangkit listrik berbasis energi panas bumi. Direktur Keuangan PGE, Yurizki Rio, menjelaskan bahwa tantangan terbesar masih datang dari risiko bawah permukaan (subsurface risk), yang kerap menjadi hambatan utama dalam pengembangan lapangan panas bumi berskala besar.
“Yang paling klasik itu soal subsurface risk. Untuk membangun satu lapangan dengan kapasitas 50 hingga 110 megawatt itu butuh modal besar, tapi tingkat keberhasilannya tidak tinggi,” ujar Yurizki dalam acara Economic Update Energy Edition, Selasa (8/7/2025).
Menurut Yurizki, untuk menekan risiko dan meningkatkan efisiensi modal, PGE kini memprioritaskan pengembangan di lapangan-lapangan yang lebih matang (mature fields), yang memiliki tingkat keberhasilan hingga 70–80 persen.
“Ini akan meningkatkan kepercayaan diri kami dan mempercepat Commercial Operation Date (COD). Karena kecepatan COD sangat berpengaruh terhadap keekonomian proyek,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti pentingnya dukungan modal awal (strong cash deficiency support) untuk menutupi kebutuhan eksplorasi awal, mengingat hanya sekitar 50 persen dari proyek-proyek panas bumi yang mencapai kesuksesan eksplorasi.
Target Panas Bumi dalam RUPTL 2025–2034
Sebagai bagian dari peta jalan transisi energi nasional, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik dari panas bumi mencapai 5,2 gigawatt (GW) hingga 2034. Target ini tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.
Selain panas bumi, RUPTL juga menargetkan pengembangan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) lainnya, yaitu:
- Tenaga surya: 17,1 GW
- Angin: 7,2 GW
- Hidro: 11,7 GW
- Bioenergi: 0,9 GW
Baca juga: PGE Mulai Eksplorasi PLTP Gunung Tiga 55 MW, Dorong Transisi Energi Nasional
Energi baru seperti nuklir juga mulai diperkenalkan, dengan rencana pembangunan dua unit reaktor modular kecil (SMR) masing-masing 250 MW di Sumatera dan Kalimantan.
Secara total, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW hingga 2034. Sekitar 76 persen dari total kapasitas baru tersebut akan berasal dari EBT dan sistem penyimpanan energi seperti baterai dan pumped storage.
Pada lima tahun pertama, penambahan kapasitas akan mencapai 27,9 GW, terdiri dari:
- 9,2 GW berbasis gas
- 12,2 GW dari EBT
- 3 GW sistem penyimpanan
- 3,5 GW dari pembangkit batubara yang telah dalam tahap konstruksi
Sementara itu, pada lima tahun kedua, fokus beralih hampir sepenuhnya ke EBT dan penyimpanan energi, dengan kontribusi sebesar 37,7 GW atau 90 persen dari penambahan kapasitas. Hanya 3,9 GW dari pembangkit baru yang masih berbasis fosil. (***)