
Konstruksi Media – Dalam upaya menekan emisi karbon dan menciptakan ruang hidup yang lebih berkelanjutan, konsep bangunan hijau (green building) kian menjadi sorotan. Salah satu aspek krusial dari bangunan hijau adalah efisiensi energi, yaitu bagaimana sebuah bangunan dapat meminimalkan penggunaan energi, khususnya untuk pendinginan dan pencahayaan, tanpa mengorbankan kenyamanan penghuni. Dalam konteks inilah, pemilihan material kaca dan façade menjadi salah satu kunci yang tak bisa diabaikan.
Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI), Ir. Ignesjz Kemalawarta, MBA, menegaskan bahwa strategi untuk mengoptimalkan efisiensi energi harus dimulai sejak tahap perencanaan desain bangunan. “Bangunan yang ramah lingkungan tidak hanya tentang teknologi canggih atau instalasi panel surya, tetapi juga menyangkut bagaimana cahaya alami dimanfaatkan secara maksimal, dan panas dari luar diminimalkan,” ujarnya.
Kaca dan façade bangunan memainkan peranan sangat penting dalam mengatur keseimbangan antara pencahayaan alami dan beban panas. Secara teknis, panas yang masuk melalui kaca terdiri dari dua komponen utama: konduksi panas dan radiasi sinar matahari. Konduksi terjadi ketika panas merambat melalui material kaca, sedangkan radiasi matahari adalah panas langsung yang menembus kaca akibat paparan sinar matahari.

Untuk itu, pemilihan jenis kaca yang tepat menjadi langkah awal yang strategis. Kaca berkualitas tinggi umumnya memiliki nilai U-value rendah, yang berarti kemampuan menghantarkan panasnya rendah. Semakin kecil U-value, semakin sedikit panas yang bisa menembus ke dalam ruangan. Selain itu, kaca dengan Solar Heat Gain Coefficient (SHGC) rendah mampu menahan lebih banyak radiasi panas matahari, sementara Visible Light Transmittance (VLT) tinggi memungkinkan cahaya alami masuk secara optimal.
“Nilai SHGC dan VLT menjadi indikator utama dalam menentukan performa termal dan visual kaca,mengingat dampak radiasi matahari masuk bangunan sekitar 70-85%” jelas Ignesjz. “Kaca ideal untuk bangunan tropis seperti di Indonesia adalah kaca dengan SHGC rendah dan VLT tinggi. Jadi panas bisa ditolak, tapi ruangan tetap terang secara alami.”Selain itu factor warna kaca memegang peran dalam estetika bangunan seperti pilihan warna green,blue,grey sampai dark grey yang dikombansikan dengan factor kualitas kaca tadi.
Tak hanya kaca, desain façade dan orientasi bangunan juga perlu diperhatikan. Paparan sinar matahari berbeda tergantung arah bangunan menghadap. Umumnya, sisi barat menerima paparan panas tertinggi, sementara sisi selatan dan tenggara lebih teduh. Oleh karena itu, penggunaan elemen shading seperti kisi-kisi vertikal atau horizontal sangat direkomendasikan untuk menghalangi sinar matahari langsung, terutama pada sisi barat.
Baca juga: GBCI Serahkan Sertifikat Green Internasional EDGE ke Kantor Baru Arkadia Works
Dalam praktiknya, performa keseluruhan bangunan dalam menahan panas dari luar diukur menggunakan satu indikator penting yang disebut Overall Thermal Transfer Value (OTTV). Di Indonesia, nilai OTTV telah ditetapkan melalui SNI 03-6389-2011, dengan batas maksimal 35 W/m² untuk bangunan gedung. OTTV adalah nilai gabungan dari panas yang masuk melalui dinding dan kaca, yang dihitung berdasarkan orientasi, luas bukaan, dan karakteristik termal masing-masing material.
“OTTV menjadi fondasi untuk mengevaluasi seberapa efisien sebuah bangunan secara termal,” kata Ignesjz. “Nilainya harus serendah mungkin untuk mengurangi beban kerja sistem pendingin ruangan.”
Di luar kaca, peran dinding atau bidang massif juga tak bisa dikesampingkan. Meski kontribusinya terhadap total beban panas masuk relatif kecil—sekitar 0,2 hingga 5 persen—pemilihan material dinding yang memiliki massa termal tinggi dapat membantu menjaga kestabilan suhu ruang. Material seperti bata merah dan beton memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan panas pada siang hari, kemudian melepaskannya secara perlahan saat suhu luar mulai menurun. Ini membantu ruangan tetap sejuk dan nyaman, terutama pada malam hari.
Untuk menekan perpindahan panas secara langsung dari luar ke dalam bangunan, Ignesjz menyarankan penggunaan lapisan insulasi atau cladding reflektif. Lapisan ini mampu memantulkan panas dan mencegah akumulasi suhu tinggi di dalam ruang. Strategi berlapis ini sangat efektif diterapkan di negara-negara beriklim tropis, termasuk Indonesia, di mana suhu harian cukup tinggi dan kelembapan udara relatif tinggi sepanjang tahun.

Selain sisi teknis, Ignesjz juga menekankan pentingnya kolaborasi antara arsitek, insinyur, pemilik bangunan, dan pakar green building. Setiap keputusan desain harus dilandaskan pada prinsip keberlanjutan dan efisiensi energi. Pemilihan kaca low-E (low-emissivity), desain façade responsif terhadap arah matahari, hingga pemanfaatan ventilasi alami harus direncanakan sejak awal.
“Kesadaran untuk merancang bangunan yang hemat energi harus menjadi visi kolektif. Kita tidak bisa lagi membangun gedung hanya dengan pertimbangan estetika atau anggaran. Aspek lingkungan dan efisiensi energi kini menjadi hal yang sangat mendesak,” tambahnya.
Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan bahwa standar seperti OTTV (Indonesia dan Malaysia) atau ETTV (Singapura) telah menjadi bagian integral dalam perizinan bangunan baru. Ini menjadi bukti bahwa regulasi memainkan peran penting dalam mendorong penerapan prinsip bangunan hijau secara lebih luas.
Menutup pemaparannya, Ignesjz mengingatkan bahwa transisi menuju masa depan berkelanjutan harus dimulai dari cara kita membangun. “Kaca dan façade bukan hanya elemen arsitektural. Ia adalah instrumen efisiensi energi. Dengan memilihnya secara bijak, kita tidak hanya membangun ruang yang nyaman untuk hari ini, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih layak huni.”
Artikel ini telah tayang di Majalah Konstruksi Media edisi Maret-April 2025. (***)