Renewable

Penggunaan EBT Minim, PLN Diperingatkan Luhut: Kalau nggak Bisa, Berhenti Saja

Konstruksi Media – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memperingatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak main-main dalam melakukan transisi energi melalui pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Hal itu disampaikan Luhut dalam acara Realigning With Global Net-Zero Commitments, Senin (20/9) kemarin.

Luhut menyadari kondisi tersebut memang cukup sulit bagi PLN saat ini lantaran mayoritas sistem kelistrikan di Indonesia masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

“PLN gak boleh main-main lagi karena paling banyak yang masuk ke situ PLN. Kalau gak bisa, berhenti saja. Kalau tidak nanti bangsa ini tak dihormati orang. Susah, tapi kita harus cari jalan keluarnya,” ujar Luhut dikutip pada Selasa (21/9/2021).

Namun begitu, Luhut optimistis PLN dapat melakukan transisi energi dengan cepat. Apalagi ada bantuan dari Energy Transition Mechanism (ETM) yang telah membuat konsep dukungan untuk mempensiunkan dini PLTU.

Menurutnya, saat ini banyak perusahaan global yang mulai memperhatikan penggunaan listrik bersih untuk operasional bisnisnya. Perusahaan-perusahaan tersebut mempunyai komitmen kuat untuk menghasilkan produk ramah lingkungan (green product).

“Kita sudah mengarah ke situ dan Presiden sudah arahkan kami dan PLN harus ikut. Kalau mereka gak ikut dia menahan diri kalau gak bisa dia berhenti saja,” katanya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, semakin lambat PLN menyerap sumber energi primer dari EBT, maka diperkirakan PLN sulit mencari pendanaan khususnya di pasar keuangan global.

“Mau terbitkan surat utang pun, investor akan tanya berapa bauran energinya, berapa batubara atau energi fosil yang sudah berkurang dalam proses transisi ke EBT, misalnya,” ucap Bhima dilansir dari kosadata.com

Bhima pun menawarkan solusi untuk membantu pendanaan PLN untuk memuluskan ttransisi ke EBT, salah satunya dengan memanfaatkan skema pajak karbon. Melalui skema ini, diharapkan PLN akan mendapatkan dana dari sektor-sektor yang berkaitan dengan eksternalitas negatif besar ke lingkungan hidup, contohnya sektor ekstraktif.

Kemudian ada pengalokasian atau pemanfaatan dana spesifik dari pajak karbon yang bisa disalurkan ke PLN sebagai insentif beralih ke EBT. Menurutnya skema ini nantinya lebih pas dibahas di tataran peraturan presiden atau peraturan menteri.

“Yang jelas dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan sudah terbuka pembahasan adanya pajak karbon jadi hanya teknisnya saja nanti pengaturan insentif bagi PLN,” paparnya.

Sebelumnya, PT PLN siap memimpin transisi energi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Hal itu disampaikan Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini dalam acara UN Global Compact Virtual Leaders Summit 2021.

Acara ini merupakan agenda yang mempertemukan Kepala Negara, petinggi PBB, para pemimpin bisnis, akademik, dan organisasi non-pemerintah. Khususnya untuk membahas krisis global yang berkaitan dengan perubahan iklim, pandemi global Covid-19, ketimpangan sosial dan lain-lain.

“Akan ada penambahan kapasitas di 2060 sebesar 1.500 TeraWatt hour (TWh), artinya lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun ini. PLN punya komitmen penambahan kapasitas itu akan berbasis pada renewable energy,” kata Zulkifli beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pengembangan EBT menjadi prioritas penting bagi PLN. Terutama guna mengejar target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025. Pembangkit-pembangkit EBT diproyeksikan akan terakumulasi mencapai 10 GigaWatt (GW) pada 2025 dan meningkat lagi hingga 15 GW pada 2029.

Selain itu, EBT di masa depan bukan hanya sebatas energi yang intermiten, melainkan sebagai pemikul beban dasar (base load) yang akan bersaing dengan energi fosil. Di saat itulah, menurutnya pengembangan dan penerapan energi terbarukan akan menjadi kekuatan PLN untuk penyediaan listrik ramah lingkungan.

Zulkifli juga menjelaskan, PLN akan mulai memensiunkan pembangkit-pembangkit tua yang subcritical pada 2030. Dalam jangka pendek, pembangkit yang masih berbasis bahan bakar minyak (BBM), akan diganti dengan pembangkit-pembangkit berbasis renewable, dan base load.

“Kami mengubah BBM yang mahal, impor, dan menimbulkan polusi, untuk secara penuh bergeser pada energi murah, berbasis kekuatan domestik, dan ramah lingkungan,” ujarnya saat itu.***

Artikel Terkait

Leave a Reply

Back to top button