Konstruksi Media — PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) menegaskan bahwa Asia, termasuk Indonesia, memegang peran kunci dalam menjaga keseimbangan antara energi fosil dan energi terbarukan. Dalam konteks transisi menuju energi bersih, panas bumi dinilai sebagai fondasi utama, bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga regional dan global. Energi ini diyakini mampu menjawab tantangan besar yang dikenal sebagai trilema energi: keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan.
Indonesia memiliki cadangan panas bumi mencapai sekitar 24 gigawatt (GW), setara dengan 40% dari total potensi panas bumi dunia yaitu modal besar yang menempatkan negeri ini sebagai pemain strategis dalam agenda transisi energi global.
Pandangan tersebut disampaikan Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Yurizki Rio, dalam forum Asia New Vision Forum (ANVF) 2025 di Singapura pada September lalu.
“Hari ini, Asia tidak hanya berbicara tentang dekarbonisasi, tetapi juga tentang bagaimana menyeimbangkan kembali bauran energi. Energi fosil masih menjadi tulang punggung listrik baseload di banyak negara untuk menjaga ketahanan, dengan porsi sekitar 80% dari kebutuhan energi Asia. Namun di saat bersamaan, permintaan listrik di kawasan ini terus meningkat,” ungkap Yurizki (12/09/2025).
Menurutnya, untuk mencapai target iklim, Asia Tenggara perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga lima kali lipat, menjadi sekitar US$190 miliar per tahun pada 2035. “Ini adalah lompatan besar yang menunjukkan betapa mendesaknya akses terhadap modal baru,” ujarnya.

Yurizki menegaskan, transisi energi di Asia tidak bisa hanya berfokus pada penambahan kapasitas energi terbarukan, tetapi juga memastikan listrik tetap tersedia dan industri tetap kompetitif. Dalam konteks ini, panas bumi menjadi solusi ideal.
Berbeda dengan tenaga surya dan angin yang bergantung pada kondisi cuaca, panas bumi merupakan sumber energi lokal yang stabil sepanjang waktu. Keunggulan ini memungkinkan negara-negara Asia secara bertahap mengurangi ketergantungan pada batu bara tanpa mengorbankan stabilitas sistem energi nasional.
“Transisi energi yang efektif harus menjawab tiga aspek trilema energi: keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan. Panas bumi secara alami menjawab ketiganya—bersih dan berkelanjutan, andal sebagai baseload, dan dengan struktur pembiayaan yang tepat tetap terjangkau dalam jangka panjang,” tegas Yurizki.
PGE menilai bahwa ketersediaan pendanaan menjadi faktor penentu keberhasilan transisi energi. Proyek-proyek energi bersih berskala besar membutuhkan investasi masif, baik untuk pembangunan pembangkit listrik, jaringan transmisi, maupun interkoneksi lintas batas.
Baca Juga: Perluas Manfaat Panas Bumi untuk Masyarakat, Empat Area PGE Raih Penghargaan BISRA 2025
Menurut International Energy Agency (IEA), kawasan Asia-Pasifik perlu melipatgandakan investasi energi bersih dari US$770 miliar menjadi lebih dari US$2,3 triliun per tahun pada 2030.
“Indonesia menghadapi tantangan serupa. Setiap tahun, dibutuhkan sekitar US$20–25 miliar investasi energi, terutama untuk panas bumi, surya, dan hidro. Khusus panas bumi, satu sumur produksi dapat menelan biaya hingga US$5–6 juta, dan risiko eksplorasinya membuat banyak investor masih berhati-hati,” jelas Yurizki.
Ia menambahkan bahwa PGE terus menjaga disiplin finansial dan memastikan setiap proyek tetap bankable agar menjadi mitra kredibel bagi investor global.
“Kolaborasi bukan sekadar pendanaan, tetapi juga berbagi keahlian, membangun proyek bersama, dan menciptakan ekosistem energi bersih regional yang saling menguntungkan,” tambahnya.

Dengan potensi cadangan besar, Indonesia sering dijuluki sebagai “Saudi Arabia of Geothermal.” Namun, dari total potensi 24 GW, baru sekitar 2,6 GW yang dimanfaatkan.
Padahal, setiap US$1 miliar investasi panas bumi tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menggerakkan industri pengeboran, rekayasa, dan ekonomi lokal dengan multiplier effect hingga 1,25 kali.
Selain sebagai sumber energi bersih, panas bumi juga membuka peluang hilirisasi melalui pengembangan produk turunan seperti green hydrogen dan green ammonia.
“Energi terbarukan bukan hanya solusi iklim, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi. Di Asia, investasi hijau telah menciptakan jutaan pekerjaan, menarik modal global, dan membangun industri domestik. Bagi Indonesia, pengembangan panas bumi tidak hanya membersihkan jaringan listrik, tetapi juga memperkuat rantai pasok dan kapasitas teknologi lokal,” kata Yurizki.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi, PGE kini mengembangkan pendekatan beyond electricity dengan memanfaatkan panas bumi bagi industri hijau dan produk turunan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Langkah strategis ini diwujudkan melalui peluncuran Pilot Project Green Hydrogen Ulubelu pada 9 September 2025. Proyek tersebut menjadi tonggak penting dalam membangun ekosistem hidrogen hijau secara end-to-end, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemanfaatan untuk mendukung industri rendah karbon. (***)




