
Konstruksi Media – Siang ini saya bersaksi: Jakarta tak pernah kehilangan cerita! Tapi kota ini makin sulit bicara tentang keadilan. Di pagi hari yang biasa datar, saya membaca berita luar biasa yang membongkar: “Meredupnya Kejayaan Pasar – Pasar Legend di Jakarta…”
(Kompas, 5 Juli 2025)
Amba terkenang sudut Senen dan sepanjang jalan ke arah Salemba Kampus Perjuangan UI. Ayo mencoba iseng buat check list gedung meredup seperti judul bung ‘Kompas’ Sabtu yang menyentak nafasku. Oh, judul mendalam bisa membangunkan kesunyian pada gedung lusuh diam. Atau sebenarnya, otoritas kota yang diam?
Tersentak laporan ‘Kompas’ itu, ayo amatilah juga Blok G – Tanah Abang, Glodok , Jatinegara. Dari Senen ke arah Pulo Gadung , tak hanya mall, gedung dan pasar. Bahkan di perempatan Kelapa Gading depan SPBU merek asing, adakah mall jangkung tapi ganjil dalam kesunyian?
Konsumen atau fiskal yang berpaling?
Jamak digantung banner pada gedung perkantoran dengan iklan: Dijual! Tampak juga kah rumah sakit yang menyerah: tutup? Hamba tinggal dekat sana.
Bung ‘Kompas’ itu kudu menyadarkan kita dan kota, bahwa pasar-pasar rakyat yang dulu berdetak hidup kini tinggal detak jantung macam hendak berakhir. Dan di sisi lain kota, mall-mall kosong, kantor-kantor tak berpenghuni, berdiri seperti saksi bisu dari kelumpuhan sistem pengelolaan aset negara dan masyarakat
Semuanya terdiam. Kecuali suara tangga darurat yang berderit saat angin lewat.
Mana suara The HUD Institute?
Kaya Aset, Miskin Keberanian
Saya berani taruhan, masalah kita bukan kurang lahan. Kota punya ribuan hektar ruang yang mati fungsi Pingsan panjang Masalahnya adalah kota terlalu takut atau lamban untuk menghidupkannya kembali. Membuatnya siuman dan berdandan.
Saya menyebutnya: politik “ketakutan administrasi” sebab semua menunggu, tak ada yang memutuskan. Menunggu bukan asas pemerintahan yang baik. Kalau asas hati-hati dan cermat, iya! Jangan pulak tindak pangreh tak lagi-hati2 dan cermat seperti ironi kasus pindah tuan 4 pulau Aceh.
Kita harapkan DJKN jangan menunggu legalitas. Pemda masihkah menunggu perubahan RDTR? BUMN lamban menunggu restrukturisasi utang? Karena semua takut ‘salah langkah’, padahal tiap langkah yang diabaikan justru menambah penderitaan warga kota.
Reformasi Fungsi Gedung Harus Dimulai dari Fungsi Sosial
Dalam satu diskusi informal yang tak sepi dengan Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, dia bersuara nyaring dan lantang namun bijak. Ujarnya ke saya:
“Kita ini terlalu lama melihat gedung hanya sebagai barang. Padahal gedung adalah ruang kehidupan. Ia harus punya fungsi.
Dan fungsi itu harus berpihak kepada manusia, bukan hanya kepada neraca.”
Catatan analitis saya, Zulfi Syarif Koto mengusulkan reformasi tata kelola gedung yang menyeluruh. Saya mencatat ini:
Pertama:
Reviu ulang fungsi gedung, khusus nya yang idle, baik BMN, BUMN, maupun swasta.
Kedua:
Skema pembiayaan baru yang memungkin kan gedung-gedung tua dikonversi tanpa harus dijual ke pasar bebas, tetapi melalui restrukturisasi fungsi sosial.
Ketiga:
Identifikasi siapa pengguna utamanya — MBR atau komersial — bukan hanya demi bisnis, tapi demi keadilan ruang kota.
Keempat:
Pengelolaan gedung yang profesional, tidak boleh lagi warga penghuni “diperas” atas nama legalitas, sambil dibiarkan terlantar.
Dan Zulfi Syarif Koto menambahkan dengan gaya khas Minang yang malereng namun menusuk halus:
“Kalau ruang sudah kita isi dengan penghuni, maka kita bertanggung jawab. Jangan sampai rakyat kita tinggal di atas hukum yang rapuh, lalu diperas pelan-pelan oleh pengelola yang pakai pasal-pasal ajaib”
Aset Negara: Jangan Mati! Harus Hidup dan Bernyawa Sosial
Di meja kerja saya terpangah buku Hernando de Soto berjudul ‘The Mystery of Capital’. Katanya, ‘bangunan tidak dapat disembunyikan’. Tapi janhan dibuat mati.
Beda dengan prediksi de Soto, mall dan gedung semula hidup kini meredup menjadi misteri kapital versi lain. Beda dari studi de Soto yang menghidupkan aset dengan sertifikasi ke sistem, tapi Zulfi Syarif de Koto menghidupkan aset pingsan nyaris mati suri ke intervensi pengelolaan aset tersistem ke akses hunian.
Asumsi saya, bangunan gedung yang kini meredup, karano iko: didiamkan tanpa kepastian
Baca juga: Luas Lantai Rumah 25M2: Jangan Permalukan Presiden Prabowo, Apa Kabar Subsidi Produktif Perumahan?
Gedung bukan patung. Ia harus bernyawa.
Kalau mall-mall kosong bisa diubah dan kombinasikan (mix used) menjadi hunian ASN, tempat tinggal perawat, atau co-living guru dan mahasiswa, itu bukan sekadar proyek. Itu pemulihan wajah kota.
Tapi selama tidak ada reformasi hukum, semua hanya wacana. Dan, sunyiiiii, diammm!
Ambo bukan Tan Malaka, buleh kan ambo menganalisis dengan meminjam perkakas VUKA dan BANI. Karena begini, dunia dalam Ketidakpastian
Kita hidup dalam dunia yang tak lagi stabil.
Konsep analisa nya: VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), yang menjelaskan dunia yan cepat berubah (Volatile), tak menentu arah (Uncertain), rumit antar sektor (Complex), dan sulit dipahami (Ambiguous).
Namun kini semangkin parah. Bahkan VUCA dianggap usang. Dunia telah beranjak ke era BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible):
Brittle: sistem terlihat kokoh tapi mudah rapuh (contoh: sistem kesehatan saat pandemi). Anxious: publik mudah panik karena informasi berlimpah. Non-linear: sebab-akibat tak berurutan dan tak dapat diprediksi. Incomprehensible: data makin banyak tapi makna makin hilang.
BANI gambar kerapuhan dunia. Cemas , tidak linier dan sulit dipahami.
Tapi negara jangan diam! de ‘Kompas’ sudah membangunkan. The HUD Institute berkata, CITO: matinya bangunan gedung kota.
Karena itu saya tak hendak diam. Akal saya lasak : bergerak cepat Pagi-pagi diperintahkan Ketua The HUD Institute soal iki, maka saya mencatat dan mengusulkan bahan tindakan ala lawyer dari “santri” Housingnomic bermazhab The HUD Institute.
Pertama:
Ajukan Perpres Nasional Konversi Aset Tak Produktif.
Kedua:
Revisi PP 27/2014 dan UU BUMN agar memungkinkan fungsi sosial atas aset non-strategis.
Ketiga:
Kehadiran OJK dalam skema konversi agunan mall/kantor menjadi proyek sosial.
Kalau OJK sibuk bela inflasi medis dengan Co- Payment 10%, mana beleids OJK atasi inflasi fungsi koleteral mall juncto gedung jangkung pun tak jangkung?
Keempat:
Keterlibatan masyarakat sipil, “arsitek” sosial, dan pegiat kota dalam perencanaan berkelanjutan.
Kelima:
Agar hidup tak redup, saatnya coba kombinasikan pasar dan gedung dengan hunian.
Yth. Satgas Perumahan.
Fakta ini tak boleh didiamkan. Bangunkan dari pingsan mall, pasar dan gedung yang membisu menuju kumuh.
Jika tidak, kalau dulu isu kota ialah permukiman kumuh, kini cerita kota apa lagi? Cerita gedung kumuh bisa jadi cerita kota sampai hipotesa proposal kebijakan Menteri Ara. Agenda 3 juta rumah bisa dimasukkan dan menjadi “dokter” yang merawat gedung mati dan pasar sepi dalam skema sejuta hunian perkotaan.
Kita taknak menyaksikan sejarah kota yang dibiarkan diam. Pasar tradisional bukan kalah oleh e-Commerce. Tapi kalah oleh sistem yang membiarkannya menua tanpa budaya manusia makhluk ekonomikus pemburu sang murah dan si margin.
Gedung kosong bukan karena tak laku, tapi karena tak dijual dan tak dikelola dengan sensitifitas pada keadilan ñakan inefisiensi harga tanah, zigzag perijinan mahal yang diam-diam dibiarkan dan menjadi cuan jabatan, dan biaya yang tak ada tapi tega dibiayakan juga. Dan, negara yang diam mendisiplinkan integritas aparaturnya.
Semua ini terjadi bukan karena kota tidak smart. Bukan belum tersentuh klik e-Goverment. Tapi karena kita dalam syndrom: takut (mulai) bergerak!
Karena jika menunggu, jangan sampai menjadi kapital mati berkali-kali sebagai misteri dalam misteri.
Epilog:
Postulat ambo, kota kudu dihidupkan bukan dipajang. Kota dihidupkan nyawa sosialnya dan jiwa korsanya untuk serba berguna.
Zulfi de Koto, dalam obrolan pribadi di awal pagi, berkata pada saya sambil menyeduh “kopi” kalam dari ‘The Mystery of Capital’.
“Orang Minang bilang, rumah gadang tak boleh kosong. Kosong itu membawa kutuk. Kota juga begitu, Jon. Gedung yang kosong itu, diam – diam menumpuk dosa negara pada rakyatnya.”
Dan saya tahu beliau benar. Batin hamba berbunyi: ‘Kota tak boleh diam apalagi mati.
Redup bangunan tak boleh dibiar kan’.
Maaf jika berlebihan saya menggugah: “Jangan biarkan aset negara jadi batu nisan kota. Jika tak dihidup kan untuk rakyat, ia akan jadi monumen dari negara yang kehilangan nuraninya”, (catatan dari parkir pasar jaya Inpres yang sunyi). Tabik