
Konstruksi Media – Penerapan baja seismik atau baja tahan gempa kian menjadi perhatian penting bagi dunia konstruksi Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Indonesian Steel Structure Center (ISSC), Budi Harta Winata, dalam acara Seminar dan Forum Bisnis bertema “Membangun Negeri Melalui Inovasi, Keselamatan dan Berkelanjutan Konstruksi dengan Solusi Baja Unggul” yang diselenggarakan ISSC di Hotel Lumire, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurut Budi, pemanfaatan baja seismik adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa setiap pembangunan infrastruktur di Indonesia memiliki tingkat keamanan dan keberlanjutan yang lebih tinggi.
“Kita tidak bisa lagi hanya berfokus pada aspek kekuatan material semata, tetapi juga bagaimana material itu mampu beradaptasi dengan kondisi ekstrem seperti gempa. Baja seismik dirancang dengan sifat daktilitas tinggi, sehingga mampu menyerap energi gempa dan mencegah keruntuhan struktur secara tiba-tiba,” tegas Budi.

Dalam forum tersebut, Budi juga menyoroti inisiatif produsen baja nasional, termasuk PT Krakatau POSCO, yang telah mengembangkan material baja tahan gempa.
“Renovasi keselamatan dan keberlanjutan konstruksi harus ditopang oleh material yang tepat. POSCO saat ini sudah menghasilkan baja dengan spesifikasi tahan gempa yang nantinya banyak digunakan untuk fabrikasi konstruksi baja. Ini akan meningkatkan efisiensi sekaligus keamanan desain konstruksi,” ungkapnya.
Budi menambahkan, pemaparan dari para pakar seperti Prof. Mas Linang dalam seminar tersebut menunjukkan bagaimana riset dan teknologi baja seismik dapat menjawab tantangan konstruksi di Indonesia yang berada di jalur cincin api gempa.
Baca juga: Pabrik Propan Terima Kunjungan ISSC, Perkuat Sinergi Rantai Pasok Konstruksi Baja
Budi menekankan bahwa implementasi baja seismik tidak hanya bergantung pada inovasi industri, tetapi juga harus ditopang regulasi dan standar teknis yang kuat.
“Regulasi yang jelas dan konsisten akan mendorong pelaku industri baja maupun kontraktor untuk mengadopsi baja seismik secara luas. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak bagi keselamatan publik,” ujarnya.
ISSC mendorong harmonisasi standar nasional (SNI) dengan standar internasional seperti AISC (American Institute of Steel Construction) dan JIS (Japanese Industrial Standard) agar Indonesia dapat mempercepat adopsi baja tahan gempa dalam proyek infrastruktur.

Meski potensinya besar, adopsi baja seismik di Indonesia masih menghadapi tantangan, mulai dari keterbatasan produksi dalam negeri, biaya material, hingga keterampilan teknis tenaga kerja konstruksi.
“Kita harus mendorong kolaborasi antara industri baja nasional, perguruan tinggi, dan pemerintah. Dengan riset berkelanjutan, kita bisa menekan biaya produksi dan memastikan ketersediaan baja tahan gempa buatan dalam negeri,” tegas Budi.
Dengan pembangunan masif seperti di Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kota-kota besar lain, penerapan baja seismik dianggap krusial.
“Baja tahan gempa adalah investasi jangka panjang. Biaya awal mungkin lebih tinggi, tetapi manfaatnya jauh lebih besar dalam menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian pasca bencana,” pungkas Budi. (***)