HeadlineINFOInfrastrukturNews

Ketika Banyak Proyek Infrastruktur Salah Hitung, Dari Whoosh, Kertajati, hingga LRT yang Membebani Negara

Saat arah pembangunan gagal membuat ekonomi ikut pincang

Konstruksi Media – Penyelenggara negara harus belajar dari sejumlah proyek infrastruktur besar salah hitung yang kini berujung masalah. Salah arah dalam pembangunan tidak hanya berisiko pada kerugian finansial, tetapi juga berdampak pada ketimpangan ekonomi dan menurunnya kepercayaan publik.

Belakangan, sorotan publik kembali mengarah pada beberapa proyek infrastruktur warisan pemerintahan sebelumnya yang dinilai tidak beroperasi sesuai rencana awal atau bahkan merugi. Opini publik pun bergeser dari kekecewaan menjadi kecurigaan, terlebih setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan tengah menyelidiki potensi tindak pidana korupsi pada proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.

KPK mulai melakukan penyelidikan sejak awal 2025. Isu ini makin ramai setelah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, ikut menanggapi proyek yang diresmikan pada masa pemerintahannya tersebut.

Proyek kereta cepat ini memang sejak awal menuai kritik karena dinilai belum memberikan manfaat ekonomi signifikan dan justru terus mencatatkan kerugian. Tahun 2024, Whoosh merugi hingga Rp4,195 triliun, dan tren negatif berlanjut pada semester pertama 2025 dengan estimasi kerugian Rp1,63 triliun.

Data itu bersumber dari laporan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium empat BUMN, yakni PT KAI, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara.

Meski begitu, Jokowi menolak menyebut performa buruk Whoosh sebagai kerugian. Ia menegaskan proyek tersebut merupakan “investasi sosial” yang diharapkan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan ekonomi nasional.

Proyek KCJB merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Tiongkok melalui konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), dan termasuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 75 persen pembiayaan proyek bersumber dari China Development Bank (CDB) dengan bunga 2 persen per tahun.

Kini, BPI Danantara tengah melakukan negosiasi restrukturisasi utang KCIC kepada CDB. Total biaya proyek sepanjang 142 kilometer itu mencapai 7,27 miliar dolar AS atau sekitar Rp118,37 triliun, termasuk cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS. Artinya, PSBI harus terus mencicil utang di tengah kondisi keuangan Whoosh yang masih merugi.

Baca juga: Makin Lama Lunas! Utang Kereta Cepat Whoosh Akan Diperpanjang hingga 60 Tahun, Ini Penjelasan Danantara

Selain Whoosh, beberapa proyek infrastruktur lain di bawah payung PSN juga menunjukkan tanda-tanda kegagalan atau tidak berjalan sesuai harapan.

Salah satunya Bandara Internasional Kertajati di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Bandara yang diresmikan pada 24 Mei 2018 dengan biaya sekitar Rp2,6 triliun itu awalnya digadang mampu menampung 6 juta penumpang per tahun. Namun, realisasinya jauh dari target.

Meski sempat memiliki tujuh rute domestik dan satu rute internasional ke Kuala Lumpur, sejumlah maskapai menghentikan layanan karena rendahnya okupansi. Hingga semester I/2025, jumlah penumpang domestik hanya 19.531 orang, jauh menurun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 135 ribu penumpang.

Padahal, biaya operasional bandara Kertajati mencapai Rp60–75 miliar per tahun, yang sebagian besar masih ditanggung oleh APBD Jawa Barat.

Nasib serupa juga dialami proyek LRT Jabodetabek, yang sejak awal pembangunan senilai Rp32,6 triliun telah menghadapi berbagai persoalan, mulai dari pembengkakan biaya, kesalahan desain, gangguan teknis pada pintu dan rel, hingga keterlambatan armada.

Sejumlah rute LRT masih sepi penumpang dan belum menjadi pilihan transportasi utama masyarakat perkotaan. Bahkan, baru-baru ini sempat terjadi gangguan sistem third rail — penyuplai listrik utama — yang menyebabkan 653 penumpang harus dievakuasi meski tanpa korban luka.

LRT Jabodetabek juga masih menanggung utang proyek sebesar Rp2,2 triliun kepada PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Pembangunan tahap pertama sepanjang 44 km sebagian besar didanai melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp23,3 triliun dari total kontrak Rp25,5 triliun berdasarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2015.

Deretan kasus ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tanpa perencanaan matang dan tata kelola yang baik berisiko besar gagal memberi nilai tambah ekonomi. Negara perlu memastikan setiap rupiah investasi publik benar-benar menghasilkan manfaat bagi rakyat, bukan hanya sekadar pencitraan pembangunan. (***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp
Banner Kiri
Banner Kanan