
Konstruksi Media – Esai ini dibuat masih suasana hari ulang tahun Jakarta ke 498. Tersiar kabar Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung berpidato soal kebijakan hunian kota: Jakarta Tumbuh ke Atas!
Dalam pidatonya Mas Pram tak bicara tentang jalan tol atau gedung pencakar langit, tetapi tentang ibu kota yang tak melupakan rakyatnya. Ia berkata tegas namun tenang ingin Jakarta menuju kota global, tapi tidak boleh melupakan warganya yang hidup di bantaran kali dan kampung-kampung kota, mungkin itu maksudnya berbudaya?
Pernyataan itu bukan basa-basi. Data dari Dinas Perumahan DKI Jakarta dan laporan Kompas menyatakan bahwa hunian rusunawa di Jakarta kini dihuni lebih dari 80 persen. Ini bukan angka teknokratik semata. Ini adalah narasi diam yang bicara keras: Jakarta bisa adil, jika mau.
“Jakarta Tumbuh ke Atas, yaitu mengoptimalkan pembangunan vertikal melalui konsep griya kecamatan atau make use developement yang menggabungkan fungsi layanan publik dan hunian di 10 lokasi prioritas, termasuk GOR dan pasar,” kata Pramono Anung dalam rapat paripurna memperingati HUT ke-498 Kota Jakarta di DPRD DKI Jakarta, Minggu (22/6).
Vertikalisasi yang Menyelamatkan
Meminjam gaya tajam ala John Grisham, mari menelusuri lebih dalam:
Apakah kebijakan rusun tumbuh ke atas ini hanya gincu kosmetik?
Apakah hunian vertikal ini semua kinclong, dihuni layak, atau ada yang hanya menyulap kemiskinan horizontal menjadi kemiskinan bertingkat?
Fakta: lebih dari 80% unit rusunawa terisi. Fakta lainnya: permintaan lebih tinggi dari pasokan. Ini mengindikasikan bukan hanya kebutuhan, tetapi kepercayaan rakyat kecil pada negara.
Baca juga: Luas Lantai Rumah 25M2: Jangan Permalukan Presiden Prabowo, Apa Kabar Subsidi Produktif Perumahan?
Diwartakan jamak blok rusun ditinggalkan, terbengkalai, diterlantarkan. Misalnya Rusun Marunda blok C yang mengalami kerusakan di Cilincing (2023). Sebanyak 451 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Rusun Marunda blok C1 – C5 dipindahkan karena sudah tidak layak huni.
Kedua fakta kontras itu adalah petisi sosial bahwa membangun rusun tak selesai hanya gunting pita dan rekap data.
Jangan alpa aspek penting ini: pengelolaan, penghunian, bahkan pendampingan sosial budaya ke atas dan skills hunian vertikal selain menawarkan kenyaman baru tinggal di negeri di awan.
Data lain bisa dilacak jejaknya per sekian menit saja. Sebab itu jikalau Jakarta tumbuh ke atas tapi perlu tumbuh bersama, bukan cuman akses ke hunian vertikal tapi akses transpostasi dan bahkan akses pemberdayaan ekonomi. Menempati rusun jangan pula menyingkirkan warga menjauh dari tempat bekerja mencari cuan.
Artinya, vertikalisasi bukan hanya solusi ruang, tapi jalan keluar dari stagnasi tekanan hidup di kota yang keras —dari banjir tahunan ke lantai yang kering, dari WC umum ke kamar mandi pribadi, dari lilin ke lampu, dari gelap ke terang.
Namun, ini belum cukup. Dalam sebuah kasus tertentu pernah ada di Jakarta Utara bagaimana warga eks-kampung kota dipindahkan ke rusun yang jauh dari pekerjaan, lalu tak sanggup membayar listrik dan kembali ke kolong.
Keadilan itu tak boleh seperti lift rusak—naik hanya bagi segelintir, dan macet bagi banyak.
Di lantai 5 sebuah Rusunawa Jakarta Timur, seorang anak usia 9 tahun, menatap kereta KRL yang melintas di kejauhan.
Dulu, ia tidur di rumah triplek yang roboh tiap banjir datang. Kini, dia punya meja belajar, jendela kaca yang menerobos sengat matahari sehat, dan tetangga dari berbagai kampung yang kini satu RT di udara.
Seperti ajakan bermimpi dalam gaya novel Andrea Hirata, rusun ini adalah tempat di mana mimpi tak perlu ruang luas, tapi cukup dinding yang kokoh dan atap yang tidak bocor. Ibunya, mbak Rinah, dahulu tukang cuci yang bolak-balik menerobos tembok kampung terjepit di tengah kota, kini bisa memulai usaha katering kecil dari dapur rusunnya. Dikirimkan via kurir online untuk pelanggan kumuter yang bekerja di gedung tinggi jalan utama Jakarta.
Mereka tidak meminta belas kasihan negara. Mereka hanya butuh tiga A: Akses, Akses, Akses, sebagai bulevar kesempatan tumbuh yang adil.
Dan ternyata, ketika negara hadir, bahkan dengan lift yang kadang rusak, mereka tetap bisa naik tangga ke masa depan.
Inilah saatnya Jakarta bersegera dan totalitas tumbuh ke atas, yang terkoneksi dengan fasilitas publik: pasar, sekolah, stasiun kereta, halte bus kota. Sebab kota ini bukan hanya tentang ruas jalan tol berbayar, jalan melingkar bersusun melayang, bukan hanya Sudirman-Thamrin-Kuningan-Menteng yang seakan inti Jakarta.
Kota ini juga milik yang bergerak dan tumbuh di bawah —yang naik sedikit demi sedikit dengan jari-jari telapak kaki yang kapalan.
Dalam ulang tahunnya yang ke-498, Kota Global Jakarta perlu hadiah besar: percepatan 1.000 tower untuk hunian rakyat. Biarkan kota ini menghapus citra rusun sebagai hunian marjinal, dan menggantinya dengan simbol martabat urban.
Jika kita membangun rusun di pinggir tol, di atas stasiun, atau di lahan negara yang tidur, terkoneksi dengan fasilitas kehidupan dan akses pertumbuhan maka kita sedang menulis babak baru dalam konstitusi pembangunan kota. Bukan sekadar pembangunan, tapi peradaban. Bukan banya Jakarta Kota Global, Berbudaya dan Berkeadilan. Bisa dijadikan tema HUT Jakarta ke 499 nanti tahun 2026.
Akhir Kata. Jakarta tidak akan pernah adil jika ia hanya tumbuh untuk mereka yang sudah tinggi. Kota ini baru pantas disebut ibu kota negara, jika ia merangkul warganya dari lantai terbawah sampai ke atap harapan.
Jakarta, teruslah tumbuh ke atas. Tapi jangan pernah lupakan untuk tumbuh bersama keadilan.Tabik. (***)