Konstruksi Media — Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Rachmat Kaimuddin, menegaskan bahwa Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 menjadi ruang strategis untuk memperkuat komitmen lintas sektor dan menghasilkan kolaborasi konkret menuju pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan.
Dalam dialog di program “Indonesia Bicara” TVRI, Kamis (9/10), Rachmat menyebut negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan ganda (dual challenge): mengatasi krisis iklim sekaligus memastikan pertumbuhan ekonomi tetap berjalan.
“Sustainability di negara-negara berkembang itu adalah dual challenge. Di satu sisi kita menghadapi climate crisis, di sisi lain sebagai negara middle-income Indonesia ingin terus tumbuh,” ujar Deputi Rachmat.

Bukan Seremonial, Tapi Proses Berkelanjutan
Rachmat menegaskan, penyelenggaraan ISF 2025 selama dua hari bukan sekadar agenda seremoni, tetapi bagian dari proses panjang yang berjalan sepanjang tahun.
“Dua hari itu bisa mencapai sesuatu, tapi kerja nyatanya terjadi di 363 hari lainnya. Kita akan showcase apa saja yang sudah kita lakukan—pameran, panel diskusi, dan laporan tindak lanjut dari komitmen sebelumnya. Kita update, lihat hasilnya, dan lanjutkan pembahasan untuk isu-isu strategis yang belum selesai,” jelasnya.
Fokus Baru: Pangan, Energi, dan Air Sebagai Fondasi
Tahun ini, ISF mengangkat sejumlah tema utama seperti kritikal mineral untuk transisi energi, dekarbonisasi listrik dan transportasi, serta isu fundamental baru: kemandirian pangan, air, dan energi.
“Topik swasembada pangan, energi, dan air ini sangat fundamental dan berkaitan dengan arahan Presiden. Kalau masyarakat tidak bisa makan, minum, atau kekurangan energi, maka pembahasan soal transisi energi dan net zero menjadi kurang bermakna,” tegasnya.
Baca juga: AHY Tekankan Fondasi Keberlanjutan: Pangan, Air, dan Energi di Forum ISF 2025
Transisi Energi: Indonesia di Jalur yang Benar
Rachmat menyebut Indonesia telah menunjukkan langkah nyata dalam transisi energi, meskipun masih menghadapi perjalanan panjang. Saat ini, sekitar 84–85% energi nasional masih berbasis fosil—tak jauh dari rata-rata global sebesar 80%. Namun, kebijakan terbaru menunjukkan perubahan signifikan.
“Kalau dulu 80% fosil, sekarang dalam RUPTL kita, 75% penambahan kapasitas listrik berasal dari sumber energi terbarukan atau baterai. Hanya 25% yang fosil: sekitar 10% batu bara dan 15% gas. Ini komitmen nyata Indonesia,” jelasnya.
Target tersebut selaras dengan rencana pembangunan kapasitas listrik baru sebesar 69,5 GW, sebagaimana tercantum dalam roadmap nasional.

Elektrifikasi Transportasi dan Industri Dalam Negeri
Pemerintah juga memperkuat elektrifikasi transportasi melalui pengembangan MRT, LRT, Transjakarta, hingga kendaraan listrik pribadi.
Rachmat menekankan pentingnya memastikan manfaat ekonomi tetap berada di dalam negeri.
“Pilihannya sudah tersedia. Tantangannya adalah bagaimana momentum ini tumbuh lebih cepat, dan sejauh mungkin menggunakan produksi dalam negeri. Kita butuh jobs di Indonesia. Jangan sampai impor BBM berhenti, tapi malah impor panel surya atau mobil listrik. Jadi fundamentalnya kita perkuat dulu.”
Kolaborasi Jadi Kunci Percepatan
Menurutnya, ISF 2025 menjadi ruang untuk memastikan kesinambungan kolaborasi antara pemerintah, industri, lembaga pembiayaan, dan komunitas global.
“Forum ini memastikan komitmen itu terus berjalan dan menjadi aksi nyata,” pungkas Deputi Rachmat. (***)




