Arsitektur & DesignAsosiasiEventHeadlineINFONews

Ir. Habibie Razak Soroti Urgensi Etika dan Digitalisasi dalam Praktik Keinsinyuran Indonesia di CENS UI 2025

Sebagai nara sumber di di The 22nd Civil Engineering National Summit Universitas Indonesia (CENS-UI)

Konstruksi Media Praktisi senior bidang engineering sekaligus anggota Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ir. Habibie Razak, menekankan pentingnya integrasi etika, pengetahuan, dan pengalaman dalam praktik keinsinyuran di Indonesia.

Hal ini disampaikan dalam paparannya saat menjadi pembicara di The 22nd Civil Engineering National Summit Universitas Indonesia (CENS-UI) yang mengangkat isu kompetensi insinyur profesional dan kesiapan menghadapi tantangan global, termasuk digitalisasi dan akuntansi karbon di sektor konstruksi dan infrastruktur.

Menurut Habibie, keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019 menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan praktik keinsinyuran yang beretika dan profesional.

Habibie Razak
Habibie Razak saat menjadi pembicara di The22nd CENS-UI.

“Etika harus berjalan seiring dengan ilmu dan pengalaman. Inilah yang membedakan antara insinyur biasa dan Insinyur Profesional (IPM/IPU) yang bertanggung jawab penuh secara hukum terhadap pekerjaan teknis yang ditandatanganinya,” jelasnya.

Habibie menjelaskan perbedaan signifikan antara Engineer dan Professional Engineer (PE). Seorang sarjana teknik bisa bekerja di bidang keinsinyuran, namun tetap harus berada di bawah supervisi IPM. Sementara PE memiliki hak penuh untuk membuka praktik dan perusahaan jasa keinsinyuran secara mandiri, dengan tanggung jawab hukum atas dokumen teknis yang dikeluarkan.

Lebih jauh, Habibie menyoroti pentingnya pengembangan kompetensi insinyur melalui pengalaman kerja dan sertifikasi berjenjang. Skema penilaian mencakup kompetensi wajib seperti kode etik, keterampilan teknis, perencanaan/desain, serta manajemen dan komunikasi.

“Sertifikasi IPM bukan sekadar administratif, melainkan jaminan bahwa insinyur tersebut telah memenuhi standar tanggung jawab profesi secara utuh,” tambahnya.

Baca juga: Siap Maju Jadi Ketua BKS PII, Ini Prestasi Ir. Habibie Razak

Dalam konteks global, Habibie menilai bahwa sektor Arsitektur, Engineering, dan Konstruksi (AEC) tengah mengalami transformasi besar akibat digitalisasi dan tekanan global untuk mengurangi emisi karbon.

“Industri konstruksi bertanggung jawab atas 37% emisi gas rumah kaca secara global. Maka insinyur masa depan harus memahami konsep embodied carbon, teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM), dan Life Cycle Assessment (LCA),” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa embodied carbon yakni jejak karbon yang terkandung dalam material bangunan harus dihitung dan dikendalikan sejak tahap desain.

Habibie Razak
Habibie Razak saat menjadi pembicara di The22nd CENS-UI.

“Berbeda dengan operational carbon yang bisa dikurangi selama masa operasional bangunan, embodied carbon terjadi di awal dan tidak bisa diperbaiki. Ini yang membuatnya krusial dalam strategi net-zero,” ujarnya.

Habibie menilai bahwa adopsi teknologi seperti Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT) menjadi peluang bagi para insinyur untuk merancang bangunan yang efisien secara energi dan rendah emisi.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa insinyur masa depan harus memiliki kompetensi digital, pemahaman keberlanjutan, kesadaran etika, dan kemampuan kolaborasi lintas disiplin.

“Ke depan, engineer tidak cukup hanya jago hitungan. Mereka harus paham data karbon, bisa menjelaskan keputusan teknis ke publik, dan mematuhi regulasi hijau yang semakin ketat,” pungkasnya. (***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp