HeadlineKorporasiMiningNews

Hilirisasi Nikel Kian Prospektif, PT Vale Indonesia Diprediksi Makin Moncer

Optimisme ini sejalan dengan kinerja keuangan PTVI yang cukup solid sepanjang 2024

Konstruksi Media Prospek industri hilirisasi nikel di Indonesia semakin menunjukkan arah positif dan dinilai menjanjikan bagi para investor global. PT Vale Indonesia Tbk (PTVI) sebagai salah satu pemain utama dalam sektor ini dinilai siap memainkan peran strategis dalam mendorong keberhasilan hilirisasi nasional.

“Kami optimistis PTVI akan terus berkembang. Selama ini mereka sudah terbukti efisien dalam operasionalnya, dan ke depan akan semakin kuat jika regulasi yang ada juga mendukung keberlanjutan dunia usaha,” ujar Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), dalam wawancara di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Optimisme ini sejalan dengan kinerja keuangan PTVI yang cukup solid sepanjang 2024. Dalam laporan tahunan yang dipaparkan pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), perusahaan berkode saham INCO itu membukukan pendapatan sebesar US$ 950,4 juta dan laba bersih US$ 57,8 juta.

Kinerja tersebut ditopang oleh volume produksi bijih nikel mencapai 14,6 juta ton, produksi nikel dalam matte sebesar 71,3 ribu ton, serta pengiriman mencapai 72,6 ribu ton.

Menurut Hendra, performa PTVI akan semakin meningkat apabila proyek hilirisasi yang sedang berjalan dapat terealisasi tepat waktu. Saat ini, PTVI tengah membangun sejumlah fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel skala besar di beberapa lokasi strategis.

Baca juga: Kinerja Cemerlang, PT Vale Indonesia Disebut Layak Jadi Wajah Industri Nikel Nasional

Proyek strategis tersebut antara lain:

  • Smelter HPAL (High Pressure Acid Leach) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara
  • Smelter HPAL di Morowali, Sulawesi Tengah
  • Smelter RKEF (Rotary Kiln Electric Furnace) di Sorowako, Sulawesi Selatan

Ketiga proyek ini ditargetkan mulai beroperasi penuh pada 2025 hingga 2026.

Butuh Dukungan Kebijakan

Meski potensi hilirisasi sangat besar, Hendra menekankan pentingnya dukungan regulasi yang berpihak pada kelangsungan industri. Menurutnya, pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang dapat menekan biaya operasional dan menciptakan kepastian investasi jangka panjang.

“Sebagian besar pelaku industri sebenarnya telah memenuhi kewajiban peningkatan nilai tambah (PNT) melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, sesuai peraturan perundang-undangan. Tapi masih ada celah dalam rantai pasok industri nikel yang belum lengkap,” jelasnya.

Ia menambahkan, banyak produk hasil olahan nikel dalam negeri yang masih harus diekspor karena belum tersedianya ekosistem industri lanjutan yang memadai di dalam negeri. Ini menjadi tantangan yang harus segera diatasi untuk menciptakan nilai tambah lebih besar bagi ekonomi nasional.

Hendra juga mengingatkan bahwa hilirisasi adalah investasi jangka panjang dengan kebutuhan modal yang besar. Oleh karena itu, kepastian hukum dan insentif kebijakan menjadi krusial agar para investor terus percaya dan menanamkan modalnya.

“Kebijakan yang berpihak dan konsisten sangat dibutuhkan agar perusahaan bisa melanjutkan dan bahkan menambah investasinya. Ini juga akan menarik minat investor baru yang melihat Indonesia sebagai pusat pertumbuhan industri nikel global,” tegas Hendra.

Ia juga mengapresiasi kiprah PTVI yang selama ini konsisten menjadi pelopor dalam pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri. Produk nikel matte yang dihasilkan PTVI menjadi bukti konkret komitmen perusahaan terhadap hilirisasi.

“Proses divestasi PTVI pun telah memberi dampak positif, sejalan dengan prioritas pemerintah dalam mengembangkan industrialisasi dan hilirisasi berbasis sumber daya alam nasional,” tutup Hendra. (***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp