
Konstruksi Media – PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), salah satu produsen baja terintegrasi terbesar di Indonesia, menegaskan komitmennya dalam mendukung percepatan ekosistem industri hijau nasional melalui inovasi produk rendah emisi. Komitmen itu disampaikan oleh Head of Corporate Communications PT GRP Tbk, Ananta Wisesa, dalam gelaran The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 di Jakarta.
Menurut Ananta, AIGIS menjadi ruang penting bagi pelaku industri untuk memperkuat visi bersama dalam transisi menuju ekonomi hijau.
“Acara ini sangat bagus sekali, karena kita bisa melihat seperti apa sebenarnya standar industri hijau yang diharapkan pemerintah, khususnya dari Kementerian Perindustrian. Dengan hadir di forum ini, kami tahu bahwa ekosistem industri hijau di Indonesia nyata adanya dan didukung penuh oleh pemerintah,” ujar Ananta.
Dalam ajang tersebut, GRP menghadirkan booth seluas 18 meter persegi untuk menampilkan produk unggulan berupa baja rendah emisi. Produk itu dihasilkan melalui proses electric arc furnace (EAF), sebuah teknologi yang tidak menggunakan batu bara, melainkan energi listrik, sehingga emisi karbon lebih rendah dibanding metode konvensional.
“Produk yang kami tampilkan adalah pelat baja dengan jejak karbon lebih rendah. Kami juga membawa sertifikasi hijau yang sudah dimiliki, seperti Standar Industri Hijau dari Kementerian Perindustrian dan Environmental Product Declaration (EPD) untuk pasar ekspor. Artinya konsumen, baik di dalam maupun luar negeri, bisa melihat secara transparan jejak karbon baja yang kami produksi,” jelas Ananta.
Selain itu, GRP juga mengantongi sertifikasi Green Label Indonesia, yang merujuk pada standar ISO untuk kebutuhan pasar domestik. Hal ini, kata Ananta, menjadi jawaban atas meningkatnya kesadaran konsumen akan kebutuhan material konstruksi yang ramah lingkungan.
Meski demikian, Ananta menekankan bahwa perjalanan menuju industri baja hijau masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Industri baja, menurutnya, adalah sektor highly capital intensive yang membutuhkan investasi besar untuk modernisasi mesin.
Baca juga: GRP Tunjukkan Transformasi Digital dan Komitmen Keberlanjutan di Katalis Program Showcase
“Sebagian besar mesin pabrik baja di Indonesia sudah tua. Maka kami berharap adanya dukungan berupa tax incentive maupun akses ke pendanaan hijau dari perbankan. Karena kalau bicara kontribusi, industri baja punya peran signifikan terhadap PDB nasional,” katanya.
Tantangan lain datang dari derasnya arus impor baja. GRP menilai perlu adanya pengawasan lebih ketat terhadap implementasi regulasi seperti SNI, TKDN, anti-dumping, dan safeguard. “Kami sebagai produsen baja nasional wajib comply terhadap aturan. Namun baja impor yang masuk belum tentu jelas kualitasnya. Maka kami berharap pengawasan diperketat, jangan sampai ada celah bagi produk ilegal masuk pasar domestik,” tegas Ananta.
Meski fokus utama GRP adalah pasar domestik dengan porsi sekitar 95–96 persen, perusahaan juga mengekspor 4–5 persen produknya, khususnya baja rendah emisi. Ananta menekankan bahwa meski kontribusinya kecil, ekspor tetap penting sebagai bukti daya saing global baja Indonesia.
“Ekspor kami memang belum besar, tapi yang diekspor adalah baja rendah emisi. Itu membuktikan bahwa baja Indonesia bisa bersaing di pasar internasional, sekaligus mendukung agenda global terkait produk hijau,” jelasnya.
Lebih jauh, GRP juga telah mengadopsi energi terbarukan dengan memasang solar panel atap berkapasitas 9,3 MW, salah satu yang terbesar di Jawa Barat. Langkah ini menjadi bagian dari roadmap perusahaan untuk mendukung target nasional Net Zero Emission 2050.
Namun Ananta mengingatkan pentingnya satu payung regulasi yang jelas untuk industri hijau di Indonesia. “Saat ini masih voluntary, belum mandatory. Harapan kami ada regulasi yang mewajibkan agar semua pemain baja berada di level playing field yang sama. Selain itu, kolaborasi antarindustri, pemerintah, lembaga keuangan, dan institusi global sangat dibutuhkan agar transisi menuju industri hijau berjalan solid,” pungkasnya. (***)