
Giant Sea Wall Butuh Strategi Berlapis, Harus Pastikan Perencanaan dan Pendanaan Matang
Membutuhkan perencanaan menyeluruh, strategi pelaksanaan yang berurutan, serta dukungan pendanaan yang stabil
Konstruksi Media — Proyek Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa yang dirancang untuk melindungi wilayah pesisir utara Jawa, termasuk Jakarta, dinilai membutuhkan perencanaan menyeluruh, strategi pelaksanaan yang berurutan, serta dukungan pendanaan yang stabil. Hal tersebut mengemuka dalam seminar nasional mengenai Proyek Strategis Nasional Giant Sea Wall yang digelar Asosiasi Perusahaan Pracetak dan Prategang Indonesia (AP3I) perhelatan IndoBuildTech, ICE, BSD, Tangerang Selatan, Jumat (4/7/2025).
Marasi Deon Joubert, Kepala Subdirektorat Perencanaan Teknis Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (PU), mengungkapkan bahwa pembangunan tanggul terbagi dalam beberapa tahapan dan tipe, yakni tanggul pantai dan tanggul laut, bergantung pada kondisi geografis masing-masing wilayah. Jakarta sebagai kawasan prioritas telah dirancang melalui tiga tahapan: A, B, dan C.
“Tahap A merupakan pembangunan tanggul pantai karena dinilai paling mendesak. Kita belajar dari banjir besar 2007. Tanggul laut baru bisa dikerjakan bila perlindungan pantai dasar sudah optimal,” jelas Joubert.

Berdasarkan kajian awal Basic Feasibility Study oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, kebutuhan pembangunan tanggul di sepanjang Pantura dari Serang hingga Gresik mencapai hampir 1.000 kilometer. Komposisinya sekitar 600 kilometer untuk tanggul pantai dan lebih dari 300 kilometer tanggul laut.
Namun, ia menekankan bahwa pembaruan data dan studi teknis yang lebih rinci perlu dilakukan agar penentuan jenis tanggul tidak keliru.
“Perlu pembaruan studi yang lebih menyeluruh. Tidak bisa menggunakan pendekatan satu model untuk semua wilayah. Karakteristik pantai kita sangat bervariasi,” katanya.
Baca juga: IndoBuildTech Part I/2025 Resmi Digelar, Dukung Akselerasi Pembangunan Infrastruktur
Ir. Hari Nugraha Nurjaman, praktisi beton pracetak yang turut hadir sebagai pembicara, menyoroti pentingnya strategi pelaksanaan dan koordinasi teknis dalam proyek masif seperti Giant Sea Wall.
“Proyek sebesar ini harus dimulai dengan urutan kerja yang tepat dan perencanaan berbasis data. Jangan sampai pembangunan tanggul dilakukan tanpa kesiapan infrastruktur pendukung, seperti yang sempat terjadi di IKN,” ujar Hari.

Ia menambahkan, dukungan dari sektor manufaktur nasional juga menjadi aspek vital. Industri pracetak, misalnya, saat ini memiliki kapasitas terpasang sekitar 27 juta ton, namun utilisasinya baru 20–44 persen.
“Artinya, masih banyak ruang untuk memaksimalkan industri dalam negeri. Giant Sea Wall bisa menjadi pemantik ekonomi yang kuat, asalkan pendanaan dan perencanaan tidak setengah-setengah,” imbuhnya.
Keduanya sepakat bahwa keberhasilan Giant Sea Wall akan sangat bergantung pada sinergi lintas sektor dan kejelasan arah kebijakan pemerintah.
“Investor pasti menunggu kepastian. Kalau desainnya jelas, pembiayaannya ada, baru mereka akan masuk. Ini proyek jangka panjang, bukan proyek tambal sulam,” tutup Joubert.
Proyek ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang terhadap banjir rob dan penurunan muka tanah, sekaligus menjadi momentum penguatan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk membangun perlindungan pesisir yang tangguh dan berkelanjutan. (***)