
Gerakan Perubahan Menuju Interior Berkelanjutan dengan Material Daur Ulang
Interior arsitek berkelanjutan dimulai dari materialnya. Bukan sekadar estetika, tapi bagaimana memastikan bahwa bahan yang digunakan rendah emisi
Konstruksi Media — Di tengah meningkatnya urgensi krisis iklim, dunia desain interior dihadapkan pada kasus ekologis krusial yang tak bisa lagi ditunda penyelesaiannya. Praktik pembangunan yang masih mengandalkan material berjejak karbon tinggi dan sulit terurai menjadi sorotan.
Dalam konteks ini, transformasi menuju desain interior yang berkelanjutan bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak yang menyentuh dimensi keberlanjutan ekologis, sosial, dan budaya secara langsung.
Ketua Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), Adi Surya Triwibowo mengungkapkan pentingnya perubahan paradigma dalam memilih dan menggunakan material ramah lingkungan.
“Interior arsitek berkelanjutan dimulai dari materialnya. Bukan sekadar estetika, tapi bagaimana kita memastikan bahwa bahan yang digunakan rendah emisi, mudah didaur ulang, tahan lama, dan aman bagi kesehatan serta lingkungan,” ungkap Adi dalam diskusi ‘Sustainable Material and Ecological Lifestyle in Interior Desain’ di gelaran ARCH:ID 2025 di ICE BSD, Tangerang, Jum’at, (08/05/2025).

Diskusi ini juga menghadirkan Direktur ECSA Studio, Eko Cahya Saputro dan di moderatori oleh Irma Rosalia Handayani, Direktur PT NataRuang Karsa Cipta Utama.
Menurut dia, pemilihan material adalah titik awal menuju praktik desain yang bertanggung jawab secara ekologis.
Dia menambahkan, material berkelanjutan bukan hanya soal inovasi teknologi, melainkan juga refleksi etika desain. Bahan-bahan yang tak cepat rusak dan tak berbahaya bagi manusia maupun alam seharusnya menjadi standar minimum, bukan pilihan tambahan.
Tentunya, hal ini menjadi tantangan bagi para desainer untuk mengolah kreativitas mereka dengan lebih sadar akan dampak lingkungan dari setiap keputusan desain yang diambil.
Komitmen terhadap keberlanjutan ini diwujudkan Adi Surya melalui Palakali Creative Art Space, ruang kreatif yang ia inisiasi sebagai bentuk nyata dari praktik desain berkelanjutan. Di sana, limbah material proyek yang seharusnya menjadi sampah konstruksi disulap menjadi bagian dari elemen interior dan arsitektur.
Palakali menjadi laboratorium eksperimental bagaimana limbah justru bisa memperkaya nilai estetis sekaligus menjaga jejak ekologis tetap rendah.
Melalui pendekatan seperti ini, dia ingin menunjukkan bahwa perubahan sangat mungkin dilakukan jika ada kolaborasi dan keberanian untuk mendobrak pakem lama. “Kita harus mulai dari sekarang. Dari apa yang kita pilih, kita pakai, dan kita bentuk. Desain adalah kekuatan untuk menyampaikan nilai dan keberlanjutan harus menjadi nilai utamanya,” tuturnya mengatakan.