Dirut KAI: Desain LRT Jabodebek Nggak Benar dari Awal
Kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut kesulitan menagih ongkos pembangunan kepada pemerintah lantaran proyek belum terkontrak.
Konstruksi Media – Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Didiek Hartantyo mengatakan proyek Lintas Raya Terpadu (LRT) Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodebek) menjadi beban lantaran desain pembiayaan proyeknya tidak benar sejak awal.
“Desainnya itu sudah nggak benar dari awal. LRT (Jabodebek) itu menjadi bagian dari kereta api (KAI) dan ini akan menjadi beban,” kata Didiek dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR mengutip akun YouTube Komisi V DPR, Kamis (7/7/2022).
Ia mengatakan, pembangunan LRT Jabodebek pada 2015 diinisiasi salah satu kontraktor dan Kementerian Perhubungan. Setelah itu, keluar Peraturan Presiden (Perpres) yang menandai konstruksi dimulai.
Dalam perjalanannya pada 2017, kata dia, kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut kesulitan menagih ongkos pembangunan kepada pemerintah lantaran proyek belum terkontrak.
Baca juga: PTPP Incar Tender Proyek Infrastruktur IKN Nusantara
“Menteri Keuangan menyampaikan bahwa keuangan negara tidak menginginkan untuk mengeluarkan Rp29,9 triliun untuk membangun. Namun, Bu Menteri Keuangan menyampaikan pemerintah akan membayar secara mencicil,” ucapnya.
Menurut dia, hal ini tidak sesuai dengan bisnis model yang diatur dalam Undang-Undang. Pasalnya, infrastruktur dan sarana tidak terpisah pembangunan. Hal ini membebani KAI sebagai operator.
“Proyek ini agak aneh. Pemilik proyek Kementerian Perhubungan, kontraktor Adhi Karya, di Perpres 49 Kereta Api (KAI) sebagai pembayar. Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49, memang ini sesuatu yang tidak wajar sebetulnya namun ini dalam rangka menyelesaikan proyek strategis nasional sehingga PSO ini termasuk untuk pengembalian infrastrukturnya,” ucapnya.
Ia mengatakan, pembangunan sarana LRT Jabodebek membutuhkan dana sekitar Rp4 triliun dan Rp25 triliun untuk pembangunan prasarana. Tentunya, kata Didiek, hal ini membebani perusahaan karena harus berhutang Rp20 triliun untuk menyelesaikan pembangunan. Untuk pengembalian utang, KAI harus disuntik dana oleh pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
“Jadi bagaimana kami mengembalikan utang itu kalau tidak di top up oleh pemerintah,” ucap Didiek.
Baca artikel selanjutnya: