EventINFONewsSustainability

Di AIGIS 2025, Menperin Ungkap Empat Faktor Pendorong Transformasi Industri Hijau

Salah satunya adalah tuntutan produk hijau di masyarakat semakin meluas khususnya di generasi Z

Konstruksi Media– Transformasi menuju industri hijau tidak hanya menjadi kebutuhan nasional, tetapi juga dorongan global yang tak bisa dihindari. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut sedikitnya ada empat faktor utama yang saat ini mendorong sekaligus menantang perjalanan industri manufaktur Indonesia menuju arah yang lebih berkelanjutan.

“Ada empat faktor utama yang akan saya sampaikan. Pertama, adanya tuntutan konsumen terhadap produk hijau,” kata Menperin dalam The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) 2025 di Jakarta, Rabu (20/8).

Menurut Agus, pasar dunia kini semakin selektif. Konsumen, terutama generasi muda, cenderung memilih produk ramah lingkungan, memiliki transparansi jejak karbon, serta nilai keberlanjutan yang jelas.

AIGIS 2025
Menperin Agus Gumiwang saat pembukaan AIGIS 2025

“Apalagi, generasi Z di berbagai belahan dunia semakin peduli pada produk hijau. Ini menjadi peluang besar bagi industri Indonesia untuk masuk ke pasar global dengan produk yang lebih berdaya saing,” ujarnya.

Faktor kedua adalah meningkatnya pembiayaan hijau. Lembaga keuangan domestik maupun internasional kini memprioritaskan proyek yang sesuai dengan prinsip environmental, social, and governance (ESG). Hal ini membuka peluang besar bagi industri yang siap berinovasi dalam penerapan teknologi hijau dan praktik berkelanjutan.

Baca juga: Menperin Luncurkan GISCO untuk Percepat Transformasi Industri Hijau

“Selanjutnya, faktor ketiga adalah dukungan kebijakan pemerintah. Peta jalan dekarbonisasi industri, insentif fiskal, kemudahan investasi, hingga regulasi efisiensi sumber daya menjadi pendorong utama transformasi,” jelasnya.

AIGIS 2025
Menperin Agus Gumiwang memberikanb keterangan per di acara AIGIS 2025

Sementara faktor keempat sekaligus tantangan serius datang dari mekanisme perdagangan global, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa. Mekanisme ini mengenakan biaya tambahan pada produk dengan jejak karbon tinggi. “Industri Indonesia harus bersiap memenuhi standar rendah emisi agar tetap kompetitif di pasar internasional,” tegas Agus.

Ia menambahkan, sejak tiga tahun lalu Kementerian Perindustrian telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) untuk sektor industri manufaktur pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target nasional.

“Sasaran tersebut adalah tuntutan dari pasar saat ini. Oleh karena itu, upaya kita bersama—antara pemerintah dan pelaku industri—adalah meningkatkan daya saing dan nilai tambah. Kami ingin mempercepat agar produk-produk hijau Indonesia lebih berdaya saing dibandingkan negara kompetitor,” pungkasnya. (***)

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp