INFOMaterialNewsProduk

Catatan Redaksi: Dampak Tarif Trump, Harga Material Konstruksi Melonjak

Tak sedikit proyek pemerintah maupun swasta yang harus dijadwal ulang untuk menyesuaikan anggaran baru.

Konstruksi Media — Kebijakan proteksionis yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali digaungkan dalam kampanye politiknya mulai memberi efek riak pada sektor konstruksi global, termasuk Indonesia. 

Trump mendorong pembatasan ekspor bahan mentah strategis seperti baja dan aluminium, serta menaikkan tarif impor untuk negara-negara yang dianggap mengancam dominasi industri manufaktur AS. Akibatnya, harga material konstruksi global mengalami lonjakan tajam sejak awal 2025. 

Terlebih lagi, efek domino dari kebijakan tersebut langsung dirasakan di dalam negeri, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur strategis nasional yang sangat bergantung pada material impor, (13/04/2025).

Kenaikan harga baja struktur dan aluminium membuat biaya pengadaan bahan bangunan melonjak hingga 20-30 persen dalam tiga bulan terakhir. Bahkan untuk semen dan beton precast yang sebagian besar diproduksi lokal, harga ikut terdorong naik karena meningkatnya ongkos logistik dan tekanan biaya energi. 

Di lapangan, kontraktor mulai menahan pembelian dalam skala besar sambil menunggu kepastian harga, menyebabkan terhambatnya progres proyek di berbagai wilayah. Tak sedikit proyek pemerintah maupun swasta yang harus dijadwal ulang untuk menyesuaikan anggaran baru.

Bagi pelaku industri konstruksi nasional, kondisi ini menambah beban di tengah ketidakpastian global dan tekanan margin yang semakin tipis. Perusahaan konstruksi kelas menengah ke bawah paling merasakan dampaknya karena tidak memiliki daya tawar tinggi terhadap supplier dan kesulitan melakukan hedging harga. 

Sementara itu, perusahaan besar harus melakukan renegosiasi kontrak, baik dengan penyedia bahan maupun pemilik proyek, agar tetap dapat menjaga kelayakan proyek. Dalam beberapa kasus, pengadaan material bahkan dialihkan ke negara ketiga dengan kualitas yang belum teruji.

Konsultan perencana dan pengawas pun turut berjibaku menyesuaikan kembali Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek. Eskalasi harga material menyebabkan revisi perencanaan konstruksi secara menyeluruh, dari pilihan metode hingga spesifikasi teknis. Selain memengaruhi kualitas akhir bangunan, perubahan ini berisiko memperpanjang durasi pengerjaan dan meningkatkan potensi klaim dari pihak-pihak terkait. Hal ini tentu menambah kompleksitas dalam manajemen proyek, terutama pada pembangunan infrastruktur berskala besar seperti jalan tol, jembatan, dan fasilitas publik lainnya.

Merespons situasi ini, asosiasi industri konstruksi seperti Gapensi dan Inkindo mulai mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan kebijakan insentif. Usulan tersebut meliputi penghapusan bea masuk tambahan untuk material tertentu, pemberian subsidi logistik, hingga percepatan proses perizinan impor bahan baku. 

Pemerintah juga didorong untuk mempercepat realisasi proyek dalam negeri yang dapat mengandalkan bahan baku lokal, sebagai bentuk diversifikasi sumber material agar tidak terlalu tergantung pada pasar global yang volatil.

Di sisi lain, krisis ini membuka ruang untuk memperkuat industri bahan bangunan dalam negeri. Produsen seperti Krakatau Steel dan Semen Indonesia tengah mengakselerasi peningkatan kapasitas produksi dan efisiensi rantai distribusi. 

Namun, untuk benar-benar menggantikan peran material impor, dibutuhkan dukungan jangka panjang berupa insentif fiskal, kepastian regulasi, dan keberpihakan dalam proyek-proyek strategis. Di tengah tantangan global ini, industri konstruksi nasional dihadapkan pada momen penting untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi menuju kemandirian material konstruksi.

Baca Juga :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp