NewsProduk

Catatan Redaksi: Banjir Baja Impor Ancaman Bagi Industri Baja Nasional

Tidak sedikit industri baja nasional yang menurunkan produksinya untuk bertahap menghadapi persaingan impor, bahkan hingga menutup pabriknya.

Konstruksi Media – Maraknya baja impor ke Indonesia telah menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri baja nasional. Produk baja impor, terutama yang berasal dari negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan India, membanjiri pasar lokal dengan harga yang sulit disaingi oleh produsen dalam negeri. Kondisi ini membuat banyak produsen baja lokal berada di ambang kebangkrutan akibat kehilangan pangsa pasar.

Salah satu faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah lemahnya regulasi impor. Tarif bea masuk yang rendah membuat baja impor jauh lebih kompetitif secara harga dibandingkan dengan produk baja lokal. Selain itu, praktik dumping dari negara-negara pengekspor semakin menyulitkan produsen dalam negeri untuk bertahan.

Pasalnya, baja impor yang dijual dengan harga rendah, terutama untuk produk seperti Hot Rolled Coil (HRC) dan Cold Rolled Coil (CRC), telah menciptakan tekanan besar bagi produsen baja domestik. Bahar menjelaskan bahwa harga baja impor sering kali lebih murah dibandingkan biaya produksi lokal, yang membuat produk dalam negeri kehilangan daya saing.

Ini bukan hanya soal harga, tetapi juga keberlanjutan industri baja kita. Jika dibiarkan, kita akan sepenuhnya bergantung pada baja impor.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh rantai pasok baja yang didominasi oleh importir besar. Banyak importir baja lebih memilih mendistribusikan produk baja impor ketimbang baja lokal karena margin keuntungan yang lebih tinggi. Hal ini berdampak langsung pada proyek-proyek konstruksi besar, yang seharusnya menjadi pasar strategis bagi produsen baja dalam negeri.

Ketimpangan Kapasitas Produksi dan Serapan Baja Nasional

Industri baja nasional menghadapi tantangan besar akibat ketimpangan antara kapasitas produksi dan tingkat serapan pasar domestik dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Asosiasi Besi dan Baja Indonesia (IISIA), kapasitas produksi baja nasional mencapai sekitar 14 juta ton per tahun. Namun, tingkat serapan domestik hanya berkisar 6-7 juta ton per tahun, menunjukkan adanya idle capacity yang signifikan.

Hal ini memperlihatkan rendahnya permintaan produk baja lokal dibandingkan dengan kapasitas produksi yang tersedia.

Pada 2023-2024, serapan produk baja nasional masih belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bahkan, baja impor masih mendominasi pasar dalam negeri dengan kontribusi mencapai 50-60% dari total kebutuhan baja nasional.

Banyak sektor strategis, seperti konstruksi dan manufaktur, lebih memilih menggunakan baja impor karena faktor harga yang lebih murah dan rantai pasok yang didukung oleh importir besar. Kondisi ini membuat produsen lokal kesulitan menyalurkan produknya di pasar domestik.

Serapan produk baja nasional pada 2023 juga mengalami tekanan akibat lambatnya realisasi proyek infrastruktur besar, yang seharusnya menjadi motor penggerak utama permintaan baja. Di sisi lain, pada 2024, meskipun ada peningkatan proyek infrastruktur pemerintah, tingkat serapan baja lokal tetap rendah karena sebagian besar proyek masih menggunakan baja impor. Fenomena ini menunjukkan perlunya langkah strategis untuk meningkatkan preferensi terhadap baja lokal guna memperkuat daya saing industri baja nasional.

Ketergantungan Produk Impor

Dampak jangka panjang dari ketergantungan pada baja impor terhadap industri terkait lainnya yakni banyaknya produsen baja nasional gulu tikar. Baja itu seperti efek domino. Ketika produsen baja lokal mati, industri-industri yang bergantung pada baja lokal, seperti manufaktur alat berat, galangan kapal, hingga sektor konstruksi, akan ikut terpukul.

Selain itu, tekanan ekonomi akibat persaingan dengan baja impor telah membuat beberapa produsen baja lokal mengurangi kapasitas produksi, bahkan sampai menutup pabrik. Banyak perusahaan kecil dan menengah di sektor ini menghadapi krisis keuangan yang serius, sehingga memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Dampak lainnya ketika industry baja nasional tutup yakni bukan hanya pada industri itu sendiri, tapi juga pada ribuan tenaga kerja yang kehilangan mata pencaharian.

Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) mencatat tidak sedikit anggotanya yang harus merelakan untuk menghentikan produksi hingga menutup pabriknya. Industri baja nasional terus terpukul oleh derasnya arus baja impor murah, persaingan yang tidak seimbang dengan produk impor, terutama dari China dan India, membuat produsen lokal tidak mampu bertahan.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan rendahnya serapan baja nasional oleh sektor konstruksi domestik, yang lebih memilih baja impor karena harga yang lebih murah dan pasokan yang melimpah.

Menurut laporan internal ISSC, dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya 30% anggotanya menghentikan operasi pabrik karena merugi secara finansial. Mayoritas perusahaan kecil dan menengah di sektor ini tidak mampu bersaing dengan harga dumping dari baja impor. Selain berdampak pada bisnis, penutupan pabrik-pabrik ini juga memicu PHK massal dan mengancam keberlangsungan rantai pasok baja nasional.

Tantangan Produsen Lokal

Selain serbuan produk impor, keterbatasan teknologi dan inovasi juga juga menjadi tantangan besar bagi industri baja nasional. Untuk itu, produsen lokal harus segera beradaptasi dengan teknologi mutakhir agar dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas produk.

Untuk mengatasi persoalan ini, produsen baja mendorong pemerintah untuk mengambil langkah tegas. Perlu ada penguatan kebijakan, seperti penerapan tarif anti-dumping dan pengawasan yang lebih ketat terhadap impor baja. Selain itu, insentif untuk produsen lokal juga harus ditingkatkan agar mereka dapat bersaing.

Pengembangan industri baja berbasis hulu-hilir untuk menciptakan rantai pasok yang lebih terintegrasi sangat dibutuhkan. Kemandirian di sektor baja adalah fondasi untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Jika terus membiarkan baja impor mendominasi, ketahanan ekonomi nasional akan sangat terancam.

Dengan langkah-langkah yang tepat, industri baja nasional masih memiliki peluang untuk bangkit dan kembali menjadi pilar utama dalam mendukung pembangunan di Indonesia tentunya, upaya ini membutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat.

Baca Juga :

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp