Electricity

Bersama PJB, ITS Gali Potensi Bambu Dalam Co-firing PLTU

Konstruksi Media – Tim Pengabdian Masyarakat (Abmas) Pusat Kebijakan Publik, Bisnis dan Industri (PKPBI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengkaji potensi bambu dalam optimalisasi co-firing PLTU.

Hal ini menjadi bukti dukungan ITS untuk merealisasikan net zero emission yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) melalui co-firing PLTU.

Bersama PT Pembangkitan Jawa Bali, pihaknya menggelar Focus Group Discussion (FGD) secara daring untuk memberikan masukan sekaligus bertukar pikiran terkait co-firing PLTU yang akan memanfaatkan potensi bambu.

Pembicara dari PJB, Teguh Widjayanto menjelaskan, PJB ini merupakan sebuah anak perusahaan Pembangkit Listrik Negara (PLN), produsen listrik yang menyuplai kebutuhan listrik di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali.

Saat ini PT PJB mengelola enam Pembangkit Tenaga Listrik di Pulau Jawa, dengan kapasitas total 6.511 Megawatt dengan total listrik yang telah dikelola sebesar 20.941 Megawatt.

Dikatakannya, PT PJB mendukung penuh realisasi net zero emission melalui co-firing PLTU tersebut. Saat ini, pemerintah sedang mempersiapkan program penurunan emisi di subsektor pembangkitan tenaga listrik dengan menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 53 GW antara tahun 2025-2045.

“Dari sinilah terlintas ide dan masukan untuk menggunakan potensi bambu dalam mendukung co-firing PLTU,” paparnya.

Hingga akhir tahun 2019, persebaran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 9,15 persen, di mana 6,2 persen berasal dari PLT EBT dan 2,95 persen berasal dari BBN (biodiesel).

Sementara, pada tahun 2025 persebaran EBT ditargetkan 23 persen, di mana PLT EBT ditargetkan memberikan porsi sebesar 13-15 persen, PLT Bioenergi 2-5 persen, dan BBN 2-3 persen.

Pengembangan biomassa yang akan dioptimalkan antara lain bersumber dari pohon bambu yang merupakan bagian dari tanaman energi.

“Kita akan upayakan untuk bisa melakukan co-firing dengan biomassa pada pembangkit di PLTU dan mudah-mudahan bisa kita kejar target paling tidak 1-3 persen di tahun 2025,” tutur Teguh.

Sedangkan peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rohmadi Ridho mengungkapkan, co-firing ini digunakan sebagai substitusi batubara dengan biomassa pada rasio tertentu sebagai bahan bakar dengan tetap memperhatikan kualitas dan efisiensi pembangkit listrik.

Di berbagai negara, khususnya yang menetapkan kebijakan pemanfaatan EBT yang lebih optimal, teknik ini digunakan untuk mengurangi penggunaan energi fosil, serta mendukung kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dipaparkan peneliti yang akrab disapa Ridlo ini, untuk menunjang penerapan co-firing salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menyiapkan ketersediaan sumber daya biomassa dalam jumlah besar.

Biomassa yang cukup potensial di Indonesia adalah bambu. Namun, masih perlu dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai potensi bambu untuk mendukung co-firing pada Pembangkit Listrik Jawa Bali di pantai utara (Pantura).

Senada dengannya, perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Toat Tridjono menjelaskan, potensi volume bambu saat ini mencapai 10,4 juta ton bambu dengan asumsi bahwa potensi bambu adalah 5 ton per hektare atau 7,5 kilogram per rumpun atau 133 rumpun per ton.

“Karena banyaknya potensi bambu dan degradasi volume air yang terkandung sangat sedikit, maka memudahkan untuk dijadikan bahan co-firing,” jelas Toat.

Keberadaan ITS sebagai perguruan tinggi paling inovatif di Indonesia, lanjut Toat, dapat menjadi pelecut bagi perguruan tinggi lain untuk terus melakukan riset dan inovasi demi kemajuan bangsa.

“Besar harapan saya, ITS dapat menjadi pioner inovasi bidang sains dan teknologi di Indonesia guna menjawab EBT di Indonesia,” tuturnya sembari tersenyum.

Selain itu, imbuhnya, perlu diatur pula jaminan bahwa kegiatan inovasi dan riset bisa mendapatkan dana yang cukup dari pemerintah. “Sehingga tidak ada lagi yang namanya kegagalan riset karena kekurangan dana,” celetuknya mengingatkan.

Dosen Teknik Lingkungan ITS IIDA Warmadewanthi mengatakan, bahwa luaran dari FGD ini akan diterjemahkan sebagai respon perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan FGD.

“Melalui laporan serta dokumentasi dan akan dipublikasikan dalam jurnal untuk dapat dijadikan salah satu referensi dalam menentukan kebijakan, khususnya dalam penerapan co-firing,” ujar dosen yang akrab disapa Wawa ini.***

Artikel Terkait

Leave a Reply

Back to top button