MaterialNewsOPINIProductProduk

Benteng mulai Runtuh, Saat Baja Asing Kuasai Pasar Domestik

Oleh: Widodo Setiadharmaji, Pengamat Industri Baja dan Pertambangan

Konstruksi Media – Sepanjang tahun 2025, dunia menyaksikan gelombang baru proteksionisme baja. Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump memperkuat kebijakan tarif Section 232, menaikkan bea masuk baja dari 25 persen menjadi 50 persen sejak Juni 2025 dan memperluas cakupan hingga lebih dari 400 kode HS. Uni Eropa memperpanjang kebijakan safeguard dan berencana memangkas kuota impor menjadi separuh, disertai tambahan tarif hingga 50 persen.

Langkah serupa diambil oleh Kanada, India, Brasil, Meksiko, Mesir, Turki, Thailand, Malaysia, dan Vietnam, bahkan dua produsen besar dunia, Jepang dan Korea Selatan, turut memperketat bea masuk serta memperluas pengawasan impor.

Dalam situasi global yang semakin tertutup, Indonesia telah menjadi pasar baja yang relatif terbuka. Terbatasnya kebijakan pengamanan dan respons perlindungan yang belum seagresif negara lain menjadikan pasar domestik sebagai sasaran limpahan surplus produksi global, khususnya dari Tiongkok.

Akibatnya, arus baja murah terus membanjiri Indonesia dan menekan produsen nasional dari hulu hingga hilir.

Ancaman Serius di Balik Potensi Kenaikan Permintaan Baja

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa aktivitas konstruksi nasional mulai pulih pada pertengahan 2025 setelah sempat melemah di awal tahun. Indeks Triwulanan Nilai Konstruksi yang Diselesaikan Perusahaan Konstruksi mencatat kontraksi –1,17 persen (YoY) pada Triwulan I 2025, kemudian berbalik tumbuh +5,72 persen pada Triwulan II 2025. Pemulihan ini menandakan meningkatnya realisasi proyek konstruksi dan semestinya menjadi pendorong bagi permintaan baja nasional.

Namun, data impor baja sepanjang Januari hingga Agustus 2025 menunjukkan bahwa peningkatan permintaan tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh produsen baja dalam negeri. Struktur perdagangan baja pada periode ini memperlihatkan pergeseran tajam dari bahan baku menuju produk antara, produk akhir, hingga barang fabrikasi yang secara langsung bersaing dengan hasil industri nasional. Alih-alih memperoleh manfaat dari meningkatnya permintaan domestik, industri baja justru menghadapi tekanan dan ancaman yang kian serius.

Menurut data Kementerian Perdagangan, impor kelompok HS 72 (besi dan baja dasar) mencapai 9.025.615 ton selama Januari–Agustus 2025, naik 3,57 persen dibanding periode yang sama tahun 2024. Tiongkok menjadi pemasok terbesar dengan 3,81 juta ton atau lebih dari 42 persen pangsa impor, diikuti Jepang (1,59 juta ton), Oman (778 ribu ton), Korea Selatan (591 ribu ton), dan Rusia (482 ribu ton).

Jika ditelisik lebih jauh, kenaikan ini tidak hanya mencerminkan peningkatan volume, tetapi juga memperlihatkan pergeseran struktur impor dari bahan baku peleburan menuju produk antara dan produk akhir, pergeseran yang justru menimbulkan ancaman lebih serius bagi produsen baja nasional. Impor semi-finished steel (HS 7207), yang mencakup slab dan billet, melonjak 23 persen dari 2,31 juta ton menjadi 2,85 juta ton, menandakan meningkatnya ketergantungan pada bahan setengah jadi impor, padahal produsen baja nasional masih memiliki kapasitas peleburan yang memadai..

Yang lebih penting lagi, tren tersebut juga disertai lonjakan pada produk akhir baja canai (rolled steel) yang bersaing langsung dengan hasil produksi nasional. Pada kelompok flat, impor HRC (HS 7208) naik 5,4 persen menjadi 1,48 juta ton, CRC (HS 7209) naik 3,1 persen menjadi 454 ribu ton, dan coated steel (HS 7210) meningkat 7,8 persen menjadi 729 ribu ton. Kenaikan paling tajam terjadi pada lembaran berlapis tipis (HS 7212) yang melonjak 37,9 persen menjadi 175 ribu ton. Sementara itu, pada segmen long products, impor bars (HS 7214) naik 15,5 persen menjadi 95,8 ribu ton, angles dan sections (HS 7216) meningkat 37,5 persen menjadi 267 ribu ton, dan wire rod (HS 7217) bertambah 14,7 persen menjadi 64,1 ribu ton.

Kondisi ini diperparah pada sektor hilir pengguna produk baja. Pada kelompok HS 73 (barang dari besi dan baja) struktur juga bergeser meski total agregatnya sedikit menurun. Total impor HS 73 Januari–Agustus 2025 tercatat 1,53 juta ton, turun 3,5 persen dibanding 2024, tetapi di dalamnya terdapat lonjakan sub-pos yang strategis bagi industri fabrikasi domestik.

Kategori HS 7308 (struktur dan bagian struktur baja, termasuk prefabricated structures) melonjak dari 265.300 ton menjadi 481.876 ton, naik 81,7 persen, dan hampir seluruh peningkatan ini berasal dari Tiongkok (sekitar 431.372 ton atau ~89 persen dari total HS 7308). Kategori pipa berlas (HS 7306) naik menjadi 143.400 ton (+59,6 persen dari 89.900 ton), pipa besar (HS 7305) menjadi 73.200 ton (+34,5 persen dari 54.400 ton), sedangkan HS 7304 (pipa seamless) justru menurun menjadi 259.900 ton (−22,4 persen dari 335.000 ton). Fitting pipa (HS 7307) meningkat moderat menjadi 34.200 ton (+7,9 persen dari 31.700 ton).

Dengan demikian, industri baja nasional menghadapi tekanan impor tidak hanya dari produk yang bersaing langsung dalam kelompok HS 72, tetapi juga dari produk hilir dalam kelompok HS 73. Tekanan ini bahkan belum memperhitungkan arus impor di sektor industri pengguna lainnya, seperti produk elektronik, perkakas rumah tangga, otomotif, dan berbagai barang jadi berbasis baja lainnya. 

Tarif Trump
Ilustrasi banjirnya impor baja di Tanah Air. Dok. Ist

Kebutuhan Mendesak akan Dukungan Kebijakan

Impor baja sepanjang Januari–Agustus 2025 telah memberikan tekanan berat terhadap industri baja nasional. Berkaca pada berbagai kebijakan proteksi yang dilakukan oleh banyak negara dalam melindungi industri bajanya, pemerintah bersama pelaku industri baja nasional perlu segera mengambil langkah konkret untuk memperkuat perlindungan dan keberlanjutan industri baja dalam negeri.

Pertama, penguatan instrumen trade remedies menjadi langkah paling mendesak. Pemerintah bersama pelaku industri perlu mempercepat penyelidikan safeguard, anti-dumping, dan countervailing duty terhadap produk-produk yang mengalami lonjakan signifikan seperti HRC, CRC, coated steel, baja struktur, dan produk sejenis lainnya. Mekanisme provisional measures perlu digunakan agar impor dapat dibatasi segera bahkan sebelum investigasi selesai, sebagaimana praktik yang diterapkan di Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan sejumlah negara lainnya.

Kedua, pengawasan terhadap praktik circumvention perlu diperkuat melalui kerja sama lintas instansi antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan. Setelah tarif impor Tiongkok diperketat di berbagai negara, pola ekspor melalui negara perantara seperti Vietnam, Malaysia, dan Taiwan meningkat tajam. Karena itu, Indonesia perlu memperketat verifikasi asal barang (origin verification) untuk mencegah praktik re-export yang menyamarkan asal produksi Tiongkok. Selain itu, perlu pengawasan terhadap pengalihan klasifikasi HS ke pos tarif yang tidak dikenakan bea masuk atau tindakan pengamanan.

Ketiga, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) harus dijalankan secara lebih tegas pada proyek-proyek pemerintah dan BUMN. Penggunaan baja nasional perlu direncanakan sejak tahap engineering design untuk memastikan optimalisasi pemakaian produk dalam negeri. Pendekatan ini bukan hanya mendukung substitusi impor, tetapi juga memastikan setiap proyek strategis nasional menjadi penggerak utama peningkatan utilisasi industri baja domestik.

Keempat, sertifikasi dan pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) perlu diperkuat untuk memastikan hanya produk baja yang memenuhi standar mutu yang dapat beredar di pasar domestik. Penegakan SNI wajib harus diiringi dengan peningkatan kapasitas lembaga sertifikasi, laboratorium uji, serta audit rantai pasok di industri baja nasional. Setelah proses sertifikasi diperketat, pengawasan di lapangan dan di titik masuk pelabuhan harus dilakukan secara konsisten untuk menutup celah masuknya produk baja murah non-standar yang merusak harga dan mengganggu integritas pasar domestik. Kebijakan ini penting tidak hanya untuk melindungi konsumen, tetapi juga untuk menjaga keadilan kompetisi bagi produsen baja nasional yang telah memenuhi standar mutu resmi..

Baca Juga :

ISSC Gelar Aksi Damai, Minta Menkeu Purbaya Tolak Konstruksi Baja Impor dari China dan Vietnam

Krakatau Steel Tegaskan Komitmen Kualitas Baja Nasional, Tolak Peredaran “Baja Banci”

Artikel Terkait

Back to top button
Chat WhatsApp
Banner Kiri
Banner Kanan