Konstruksi Media – Pertemuan tertutup yang dihadiri 37 pengusaha properti berlangsung di kediaman Ketua Kehormatan Realestat Indonesia (REI), MS Hidayat, di Jakarta. Forum Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) REI tersebut menghasilkan paket komprehensif berisi kritik konstruktif, rekomendasi kebijakan, serta komitmen untuk mendukung agenda ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, termasuk target pertumbuhan 8 persen.
Para figur penting industri ini termasuk James T. Riady, Sugianto Kusuma (Aguan), Alexander Tedja, dan Herman Sudarsono menegaskan bahwa sektor properti memiliki kemampuan menjadi lokomotif ekonomi nasional melalui keterlibatan lebih dari 185 industri turunan.
“Dukungan ini bukan tanpa syarat. Pemerintah diharapkan memberikan ruang percepatan bagi sektor properti,” tegas MS Hidayat, melalui keterangannya, Selasa (4/11/2025).
James T. Riady mendorong pemanfaatan KUR Perumahan senilai Rp130 triliun untuk memperluas akses pembiayaan perumahan rakyat. Sementara itu, Aguan mengajak anggota REI mengimbangi pembangunan komersial dengan kontribusi sosial melalui program renovasi rumah tidak layak huni di seluruh Indonesia.
Menelisik Beban Hidup di Apartemen Menengah
Salah satu isu krusial yang dibahas adalah tingginya beban biaya hidup di apartemen kelas menengah ke bawah. Anggota BPO-REI Soelaeman Soemawinata menyoroti tarif listrik dan air yang masih mengacu pada tarif komersial, padahal unit tersebut berfungsi sebagai hunian.
REI mendesak pemerintah mengubah tarif tersebut menjadi tarif rumah tinggal untuk meningkatkan keterjangkauan.
Ketua BPO-REI Paulus Totok Lusida turut mengusulkan agar service charge (IPL) untuk apartemen di bawah Rp1 miliar ditekan menjadi Rp12.000–Rp14.000 per meter persegi. Ia juga mendorong pemberian bebas PPN untuk rumah hingga Rp500 juta bagi Masyarakat Berpenghasilan Tetap (MBT), meskipun bunga kredit tetap komersial.
“Tujuannya agar apartemen kembali menjadi pilihan realistis bagi MBT,” ujar Totok.
Baca juga: KUR Perumahan Rp130 Triliun Resmi Diluncurkan, 177 Pengembang REI Sudah Antre
Regulasi Tata Ruang: Kepastian Hukum Dipertaruhkan
Isu paling sensitif yang mengemuka adalah polemik penerapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Baku Sawah (LBS). Anggota BPO-REI Adrianto P. Adhi menyoroti pernyataan pejabat terkait yang menggunakan kondisi fisik sawah sebagai dasar penetapan, bukan berpedoman pada RTRW dan RDTR, seperti yang diamanatkan Undang-Undang.
Menurut Adrianto, pendekatan tersebut berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha properti.
MS Hidayat menegaskan pentingnya integritas kebijakan tata ruang. “Pejabat negara tidak boleh melanggar ketentuan perundang-undangan. Setiap keputusan memiliki konsekuensi hukum,” ujarnya.
Hunian Berimbang: Usulan Penyempurnaan Mekanisme
Para senior REI juga membahas implementasi ketentuan hunian berimbang sesuai UU Cipta Kerja, yang mensyaratkan adanya rumah sederhana, menengah, dan mewah dalam satu hamparan kawasan.
Untuk memastikan fleksibilitas tanpa mengabaikan prinsip pemerataan akses, mereka mengusulkan opsi alternatif:
- Skema dana konversi sebagai pengganti pembangunan fisik.
- Pelaksanaan kewajiban hunian berimbang dapat dilakukan di seluruh Indonesia, tidak terbatas satu kabupaten/kota.
- Lokasi alternatif minimal berada dalam provinsi yang sama.
Pertemuan BPO-REI ini mencerminkan sikap asosiasi pengembang yang tidak hanya menyambut insentif pemerintahseperti perpanjangan PPN DTP hingga 2027 dan penambahan kuota rumah subsidi—tetapi juga aktif menyuarakan isu struktural yang dinilai menghambat potensi sektor properti sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan sorotan pada kepastian regulasi, keterjangkauan hunian, dan optimalisasi pembiayaan, REI menegaskan komitmennya menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan ekonomi dan penyediaan perumahan rakyat. (***)



